Putri Pantai

Cerpen: Sokat

Di hari Sabtu besok, anak-anak kelas VI akan piknik ke pantai. Ini adalah satu dari banyak acara menyambut ulang tahun sekolah. Kabarnya, di pantai nanti akan diadakan acara pemilihan putri pantai. Semua anak gembira mendengarnya. Kecuali, Gina.
Anak perempuan berambut sebahu itu bukannya tak suka. Dia juga senang bisa jalan-jalan ke pantai bersama teman sekelasnya. Tentu saja itu menjadi hiburan tersendiri setelah capek belajar setiap hari dari pagi sampai sore. Dia sedikit tak ikut bergembira adalah karena melihat syarat untuk menjadi pemenang putri pantai itu.
Di papan majalah dinding dekat ruang guru, ditempel ketentuan penilaian bagi calon putri pantai. Cuma ada tiga syarat.
Pertama, berani tampil. Kedua, bisa menyanyi atau memainkan alat musik. Dan ketiga, bisa semuanya.
Gina jadi sebel melihat ketiga syarat tersebut. Kenapa mau jadi putri pantai saja harus bisa nyanyi segala?
“Apa hubungannya, putri pantai sama bisa nyanyi?” gerutu Gina pada Windi, teman sebangkunya.
“Pasti ada, siapa tahu nantinya calon putri pantai akan disuruh menyanyikan lagu yang bertema laut?” kata Windi.
“Jika begitu kasihan dong anak-anak yang gak bisa menyanyi?”
“Walau gak bisa nyanyi, anak-anak lain, kan masih bisa tetap ikutan?”
“Ikut apaan?”
“Ikutan jadi penonton,” tandas Windi sambil cengengesan.
Gina langsung pasang muka cemberut.
“Ya, sudah tak usah kesal, mendingan kamu antar aku ke ruang guru, yuk!” ajak Windi.
Gina menoleh. “Mau ngapain kamu ke sana?”
“Aku mau daftar ikut lomba putri pantai.”
***
Semalaman Gina tak bisa nyenyak tertidur. Dia selalu terbayang kalau akhirnya nanti Windi menjadi pemenang putri pantai.
Itu jelas tidak adil. Sebab dari semua temannya di kelas, hanya Windi yang dikenal jago menyanyi. Apalagi, dia pernah jadi pemenang lomba nyanyi tingkat kecamatan. Dan tiap acara tujuh belasan di kompleksnya, dia selalu naik panggung untuk menyanyi.
Gina bangun dari tidurnya. Dia menjadi bingung. Dia ingin juga ikut lomba putri pantai. Tapi, dia tak punya syarat yang diminta. Kalau untuk berani tampil, dia sanggup melakukannya. Lain halnya jika disuruh menyanyi. Meski tidak sember-sember amat suaranya, Gina lebih yakin apabila menyanyinya dilakukan di kamar mandi.
“Kenapa syaratnya musti nyanyi sih?” protes Gina dalam hati. “Kenapa nggak soal pelajaran aja? Matematika misalnya, aku kan bisa ikut.”
Sambil mengatakan itu di hatinya, mata Gina melirik sebuah bingkai di dinding kamarnya. Bingkai yang menghiasi piagam yang didapat saat menjadi juara olimpiade matematika tingkat provinsi.
Gina tersenyum. “Kalau yang disyaratkan adalah soal pelajaran, aku yakin bisa mengalahkan Windi untuk menjadi putri pantai.”
Gina terus tersenyum hingga kantuk kembali menyerangnya. Dia pun kembali terlelap.
***
Anak-anak kelas lima sudah berkumpul di halaman sekolah sebelum jam tujuh pagi. Hari Sabtu, dimana sekolah biasanya libur, menjadi agak semarak. Anak-anak, lelaki dan perempuan memakai pakaian aneka warna dan rupa. Tentunya dengan warna cerah. Sebab, mereka mau piknik ke pantai.
Gina melihat Billy datang dengan kemeja pantai bergambar pohon kelapa warna biru. Billy itu adalah ketua kelasnya. Anaknya sedikit tinggi dengan rambut keriting. Gina membalas senyum waktu Billy memandangnya.
“Mudah-mudahan aku bisa duduk sebangku dengan dia di bis nanti,” kata Gina dalam hati.
Tak lama, Bu Ami, wali kelas, mengabsen anak-anak yang datang. Anak yang dipanggil mengangkat tangannya. Kemudian setelah berdoa, satu per satu anak naik ke atas bis besar yang dalamnya dingin ber-AC.
Gina naik ke bis selang dua anak setelah Billy. Saat Gina melihat bangku di sebelah Billy kosong, hatinya berbunga-bunga. Dia merasa keinginannya akan tercapai. Namun….
“Eh, maaf,” ucap Windi yang menyela langkah Gina di lorong bangku bis.
Gina memberi jalan Windi. Sesaat kemudian dengan santai, Windi duduk di samping Billy. Gina jadi kesal melihatnya.
“Kamu kok duduk di situ, Win?” tanya Gina sebal.
Windi memandang Gina heran. “Memangnya kenapa? Apa bangku ini milikmu?”
Gina sebenarnya ingin menganguk atau bilang iya, tetapi mulutnya terkunci. Dia hanya diam dan melangkah menuju bangku lain. Sekilas dia melihat Billy juga menatapnya.
Sepanjang perjalanan, hati Gina tak bisa tenang. Meski anak-anak lain dengan riang bernyanyi bersama, tak juga membuat Gina senang. Dia masih kesal dengan Windi. Selalu saja mengacaukan rencananya. Gina membuang muka ke luar jendela, daripada melihat Windi yang dengan ceria bernyanyi.
***
Sesampai di pantai. Semua anak berseru riang. Anak laki-laki sudah mulai mendekati bibir pantai yang sesekali dihampiri air laut. Kadang dengan jahilnya mereka menyiram anak-anak perempuan dengan air laut.
Gina lebih memilih berteduh di bawah pohon kelapa. Dia melihat Windi selalu saja mengikuti kemana Billy pergi. Malah anak itu ikut-ikutan main air laut. Mereka memang boleh bebas bermain sebelum dimulai acara oleh guru-guru.
Gina melangkah menyusuri pantai berpasir putih itu sendiri. Kakinya yang dilapisi sendal karet sudah dilumuri butiran-butiran pasir. Dia melihat teman-temannya sudah terpencar di seluruh pelosok pantai.
Ada yang bermain bola. Ada yang membuat istana pasir. Ada juga yang berenang. Sejauh mata memandang, Gina melihat air laut yang biru. Membuat teduh perasaan. Gina jadi lupa dengan kekesalannya pada Windi.
Gina melihat Windi sudah ikut berenang dengan beberapa anak. Gelombang yang datang membuat mereka berteriak senang. Sesaat ombang datang menerjang mereka. Windi berteriak nyaring. Gina melihat tubuh anak itu tidak ke pinggir, dia malah tertarik ke tengah.
Gina mulai khawatir dengan apa yang dilihatnya. Windi berusaha berenang ke tepi. Sekali lagi ombak datang dan gerakan balik air itu, menarik tubuh Windi ke tengah. Gina cemas. Tubuh Windi terombang-ambing oleh air. Beberapa kali, Gina melihat Windi selam-timbul.
“Windi bisa tenggelam!” batin Gina.
Segera dia bergegas. Menuju satu bangunan. Tempat penjaga pantai berada. Dilihatnya, dua lelaki dewasa sedang duduk mengobrol.
“Maaf, Pak, teman saya terseret arus,” ucap Gina terburu-buru.
Seorang lelaki berdiri dan melihat arah yang ditunjuk Gina. Serta merta dia menyambar pelampung karet dan berlari. Temannya pun mengikuti. Gina melihat kedua orang itu langsung nyebur ke laut. Berenang menuju Windi yang hanya terlihat tangannya saja. Guru dan teman-temannya sudah berkumpul di bibir pantai.
Tak lama, satu dari dua penjaga pantai tadi keluar dari laut. Berjalan menuju pantai sambil menggendong tubuh Windi yang lemas. Setelah diletakkan di pasir. Penjaga pantai itu memberi pernapasan buatan pada Windi. Hingga anak itu sadar sambil menyemburkan air dari mulutnya. Gina yang melihat menghembus napas lega.
“Lain kali, jangan berenang ke tengah, ya,” kata satu dari penjaga pantai pada Windi sambil tersenyum.
Windi mengangguk malu.
“Terima kasih, Pak!” tukas Bu Ami pada penjaga pantai.
“Tak apa itu sudah tugas kami,” jawab penjaga pantai. “Untung ada murid Ibu yang melapor.”
Bu Ami tampak heran. “Siapa, Pak?”
Penjaga pantai itu menoleh ke anak-anak dan menunjuk ke arah Gina. Gina jadi rikuh melihat semua mata memandangnya. Dia tertunduk. Bu Ami menghampirinya. Bu Ami menggandeng tangan Gina.
“Nah, anak-anak,” katanya pada semua anak yang ada. “Sikap yang ditunjukkan Gina tadi, dengan melaporkan pada penjaga pantai untuk menolong Windi patut ditiru.
“Sebab, itu tandanya dia masih memikirkan keselamatan temannya. Tidak masa bodoh dengan keadaan temannya yang kesusahan.”
Gina masih menunduk. Dia tahu semua mata teman-teman yang ada di depannya termasuk Windi sedang melihatnya.
“Maka atas keberanian sikap yang ditunjukkannya, Ibu sebagai panitia acara ini memutuskan kalau Gina dinobatkan menjadi putri pantai tahun ini!!!” seru Bu Ami sambil mengangkat tangan Gina.
Semua anak bersorak. Gina tersentak kaget. Dia melihat semua anak tampak senang bertepuk tangan. Rupanya tanpa harus pandai menyanyi, dia pun bisa meraih keinginannya. Menjadi putri pantai. Dia bahagia. Dia pun melihat Billy yang berdiri di sebelah Windi, yang masih duduk di pasir, tersenyum padanya sambil mengangguk. Perlahan, bibir Gina terkembang membalas senyuman itu.
*****
NusaIndah9, 160107 (Majalah Girls edisi 14, Februari 2007)

Comments

Popular posts from this blog

THE COFFEE BEAN SHOW (Trans TV - 2008)

Cara Mudah Membangun Struktur Skenario Bernilai Jual

CAMERA CAFE (Metro TV - 2008)