JEMU

Namanya Murni Jamilah. Tapi dia sering
dipanggil Mimi. Tinggal di kampung Lio. Punya wajah bersih, hidung mancung, dan
berbulu mata lentik. Rambutnya--ini menurutnya, karena tidak semua orang pernah
melihatnya lantaran selalu terlindung jilbab panjang--hitam sebahu. Sikapnya
ramah, penuh senyum dan suka menolong. Jangankan teman sendiri, orang yang
tidak dikenal pun, bila dilihatnya tengah kesusahan, akan segera ditolongnya.
Pernah dia melihat seorang nenek yang
kesusahan untuk menyeberang jalan dan tidak ada orang yang peduli, lantas tanpa
menunggu lama dibantunya nenek itu menyeberang. Sesampai di seberang, nenek itu
mengucapkan terima kasih. Tahu-tahu, seorang wanita mendekatinya serta
menanyakan motivasinya menyeberangkan si nenek. Mimi cuma bilang, kasihan pada
si nenek. Kemudian tanpa diduga, wanita itu memberinya uang sejuta sebagai
imbalan untuk Mimi. Rupanya si nenek adalah bagian dari kru sebuah acara TV
yang memberikan imbalan uang pada orang yang membantunya. Mimi kaget tapi juga
senang. Saking gembiranya semua teman di kelasnya di traktir makan bakso di kantin.
Tetapi, beberapa hari ini Mimi terlihat
jadi pendiam. Aci yang duduk di sampingnya menjadi khawatir.
“Kamu sakit?” selidiknya.
Mimi menggeleng dan mencoba tersenyum.
“Kayaknya kamu punya persoalan yang
belum selesai, ya?”
Mimi memang tak bisa menyembunyikan
kekalutan hatinya. Aci selalu mengetahui bila ada sesuatu yang mengganjal dalam
pikirannya. Karena dia dan Aci sudah sama-sama saling mengenal. Sejak kecil mereka
sudah main bersama. Mulai TK hingga SMU mereka
satu sekolah. Malah kini duduk berdua.
Boleh dibilang Aci bukan sekedar teman sehati tapi kawan sejati buat
Mimi.
“Mau berbagi cerita?” usul Aci.
Mimi tersenyum. Itu sudah cukup buat Aci
sebagai ungkapan “ya” dari Mimi. Maka sepulang sekolah dia mengajak Mimi ke
Ancol. Kata orang, melihat laut dan ombak yang datang tak putus-putus bisa
membuat suasana hati tentram kembali.
Di tepi pantai karnaval itulah Mimi
mengungkapkan isi hatinya.
“Aku jemu,” katanya pelan.
Aci terkejut. Setelah lebih dari
setengah umurnya dia bersahabat dengan Mimi, baru kali ini dia mendengar
kalimat itu.
“Apa sebab?”
Mimi tersenyum getir. “Entahlah. Aku
cuma merasa hidupku berjalan datar.”
“Maksudmu?”
“Sejak kecil, aku seperti berjalan di
atas garis yang telah dibuat orang tuaku. Tidak boleh begini, pamali begitu.
Malah sampai sekarang kelas dua SMU,
belum sekali pun aku merasakan menyontek.”
“Bukankah itu dapat menjadi satu
kebanggaan?” sahut Aci.
“Tapi jadinya, aku tak pernah tahu
deg-degannya saat nyontek.”
“Lebih baik kamu tidak mengetahuinya.”
“Kamu seperti Ibuku.”
Aci meringis.
“Kamu tahu, ayahku sangat keras dalam
agama. Umur tujuh tahun, aku sudah harus menjalankan salat wajib, sekali saja
tak kujalani dengan sengaja, pasti Ayah akan marah bahkan kalau perlu
memukulku. Begitu juga dengan puasa, tak pernah kulewati. Dan akhirnya
berjilbab.”
Aci memang sudah melihat Mimi berjilbab
dari kecil. Mimi pernah bilang, kalau berjilbab adalah kewajiban dari Allah.
Itu artinya Allah sangat sayang sama wanita, sehingga Dia memerintahkan pada
setiap wanita untuk melindungi segala perhiasannya dengan jilbab dari mulai
leher, rambut kepala, dan dada sampai seluruh tubuh.
Dari situlah, Aci merasa tidak salah
bila ia mengikat tali persahabatan dengan Mimi. Dia banyak belajar dari Mimi.
Meski masih secara diam-diam, dia pun punya keinginan ingin mengikuti jejak
sahabatnya itu dalam berjilbab. Minggu lalu, setelah dia mengantarkan Mimi beli
jilbab di Tanah Abang, dia kembali ke tempat itu untuk juga membeli beberapa
potong jilbab.
Aci memang selalu iri dengan Mimi, yang
teguh dalam menjalani agama juga berprestasi di sekolah. Saat di SD, Aci ingat
benar, dia pernah dibuatkan oleh Mimi ikan-ikanan dari kertas di dalam sebuah
akuarium dari bambu sebagai bahan prakarya, dan itu membuatnya memperoleh nilai
A.
Waktu di SMP, Mimi adalah ketua
OSIS-nya. Aci sering mengikuti kegiatan Mimi meskipun dia bukanlah pengurus
OSIS. Dari rapat-rapat kegiatan sampai menjenguk teman yang sedang sakit.
Di SMU, Mimi mendapat tempat sebagai
wakil di rohis. Dia juga membentuk majalah sekolah dan menjadi salah satu
redakturnya. Mimi memang mudah bergaul. Juga luwes. Tak heran kalau dia banyak
memiliki teman. Tak terkecuali dari anak cowok. Malah ada pula beberapa cowok
yang berusaha mendekatinya. Namun, sampai saat ini kesemua cowok itu hanya bisa
dekat dengan Mimi tanpa bisa memilikinya.
Itulah yang membuat Aci simpati pada
Mimi. Tetapi, sekarang dia malah jadi cemas dengan keresahan yang sudah timbul
di hati Mimi. Ia ingin sekali dapat membantu sobatnya.
“Menurutku, kamu sudah menjalani hidup
dengan benar,” kata Aci. “Lalu apa yang membuatmu menjadi jemu?”
Mimi tersenyum kecil. “Aku jadi merasa
seperti robot yang terprogram untuk melakukan segala sesuatunya dengan benar.
Padahal, sesekali manusia juga mesti berbuat salah, kan? Biar dia mengerti dan
belajar dari kesalahannya.”
Aci tak percaya perkataan tersebut
keluar dari mulut sobatnya.
“Tapi, bukankah lebih baik kita dapat
menjaga perbuatan daripada mesti memperbaikinya?”
“Justru berbuat baik lebih mudah
ketimbang harus memulainya dari satu kesalahan.”
“Aku tak mengerti ucapanmu,” tukas Aci.
“Seorang yang mengakui kesalahan yang
dibuatnya adalah orang hebat, sebab tak semua orang bisa melakukan itu. Apalagi
ditambah dengan memperbaiki perbuatannya.
Aci manggut-manggut. “Jadi, sekarang apa
yang kamu mau lakukan untuk mengusir kejemuan yang sudah timbul di hatimu?”
Mimi berpikir sejenak. “Mungkin aku akan
menjalani hidup sepertimu.”
“Maksudmu?”
“Aku akan melepas jilbabku.”
Aci bagai disambar petir di siang itu.
Serta merta dia menatap lekat-lekat bola mata sobatnya.
“Kamu serius?”
Mimi mengangguk. “Mungkin awalnya akan
tak terbiasa, tapi lama-lama aku yakin dapat melaluinya dengan mudah seperti
kamu.”
“Apa yang kamu inginkan dari hal
tersebut?”
Mimi tersenyum. “Aku ingin rambutku
dipotong pendek kayak kamu. Kemudian juga diwarnai, macam artis yang pernah
jadi figur pahlawan tanah rencong, yang kalau kena sinar matahari rambutku akan
terlihat bergradasi warna biru. Indah, kan?”
Aci tak menyahut. Dia lagi menyakini
dirinya kalau semua perkataan yang didengarnya adalah benar keluar dari mulut
Mimi.
“Ya, sudah sebaiknya sekarang kita
pulang saja,” ajak Mimi. “Hari sudah sore.”
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya,
Aci mengikuti langkah Mimi. Masih dengan mulut terkunci dan seribu keheranan.
Sesampai di rumah, Aci masih tak bisa
menghilangkan kata-kata Mimi tentang keinginannya. Pikirannya dipenuhi dengan
banyak tanda tanya. Dia tak mengerti, begitu dahsyatnya kejemuan yang menghinggapi
sobatnya sampai menimbulkan keputusan yang baginya tak layak. Bagaimana tidak,
Mimi sendiri yang bilang kalau memakai jilbab adalah suatu keharusan bagi
wanita muslim. Perintah langsung yang datangnya dari Allah. Tapi kok ya, dia
sampai nekad punya niat mau melepaskannya.
Aci memang banyak melihat hal seperti
itu juga dilakukan oleh teman-temannya yang lain. Namun, dia meyakini mereka
semua belum paham benar atau malah tak mengerti dengan apa artinya berjilbab
dan datang dari mana perintahnya. Karena kalau mereka tahu adalah Allah yang
memerintahkan, pastilah semuanya akan takut (apa memang sudah pada tak takut
lagi, lantaran kini Allah tak lagi mengazab langsung umat nabi-Nya yang
terakhir ini secara langsung seperti yang dialami umat nabi-nabi-Nya yang
terdahulu?).
Aci saja ingin merubah segala
kelakuannya dengan mengikuti jejak Mimi dalam berjilbab. Tetapi, begitu mendengar pernyataan Mimi, dia
jadi kalut. Tak percaya. Kesal. Sampai malam merambat tak juga hatinya tenang.
“Aku harus melakukan sesuatu!” seru
hatinya.
Dia tak rela, kejemuan yang hinggap di
diri sobatnya mengubah sikapnya ke arah kemunduran. Maka pagi-pagi benar,
sebelum ayam jago milik tetangganya berkokok panjang, Aci sudah bergegas
berangkat ke sekolah. Sebelumnya, dia ingin mampir ke rumah Mimi. Dia mau
mengutarakan keprihatinan hatinya. Dia akan membujuk Mimi untuk mengurungkan
niatnya yang akan melepas jilbabnya, kalau perlu dia akan melawannya (bukankah
melawan niat jahat itu adalah satu kebaikan?).
Begitu tiba di depan pagar rumah Mimi,
Aci jadi deg-degan. Dia berusaha melawan keraguan di hatinya, dia meyakini
bahwa yang dilakukannya adalah demi kebenaran. Beranjak dia memasuki halaman
rumah Mimi dan mengetuk pintu rumahnya.
“Assalamu’alaikum…!”
Terdengar jawaban dari dalam dan daun
pintu pun terbuka. Mimi muncul di hadapannya. Kaget. Aci juga tak kalah
terkejutnya. Mimi sudah siap dengan seragam sekolah dan jilbab putihnya.
“Ka-kamu….” Suara Aci terpotong.
Mimi tersenyum. Mengajak Aci masuk dan
duduk di ruang tamu.
“Ada apa, kok tumben pakai nyamper
segala.”
“Aku khawatir padamu, karena kamu
bilang….” ucap Aci terputus sembari
memandang ke jilbab Mimi.
Mimi tertawa. “Oh, itu. Lupakan saja.
Aku memang sudah merasa jemu dengan dengan kehidupanku dan kurasa semua orang
juga pernah merasakannya. Tapi, kini semua itu telah kulalui, aku bersyukur
dapat mengungkapkannya. Hingga membuat perasaanku jauh lebih baik.”
“Jadi, bagaimana dengan keinginanmu?”
tanya Aci.
“Mungkin itu memang keinginanku, tapi
tidak semua keinginan mesti dituruti, kan?”
“Kamu tak akan melakukannya?”
Mimi mendekatkan wajahnya ke Aci. Ia
tersenyum.
“Aku masih takut pada-Nya,” katanya.
Aci ikut tersenyum lega.
*****
Nusa Indah9, 3 Februari 2005
(Dimuat di Annida Eds. No. 19/XIV/16-31
Juli 2005)
![]() |
Namanya Murni Jamilah. Tapi dia sering
dipanggil Mimi. Tinggal di kampung Lio. Punya wajah bersih, hidung mancung, dan
berbulu mata lentik. Rambutnya--ini menurutnya, karena tidak semua orang pernah
melihatnya lantaran selalu terlindung jilbab panjang--hitam sebahu. Sikapnya
ramah, penuh senyum dan suka menolong. Jangankan teman sendiri, orang yang
tidak dikenal pun, bila dilihatnya tengah kesusahan, akan segera ditolongnya.
Pernah dia melihat seorang nenek yang
kesusahan untuk menyeberang jalan dan tidak ada orang yang peduli, lantas tanpa
menunggu lama dibantunya nenek itu menyeberang. Sesampai di seberang, nenek itu
mengucapkan terima kasih. Tahu-tahu, seorang wanita mendekatinya serta
menanyakan motivasinya menyeberangkan si nenek. Mimi cuma bilang, kasihan pada
si nenek. Kemudian tanpa diduga, wanita itu memberinya uang sejuta sebagai
imbalan untuk Mimi. Rupanya si nenek adalah bagian dari kru sebuah acara TV
yang memberikan imbalan uang pada orang yang membantunya. Mimi kaget tapi juga
senang. Saking gembiranya semua teman di kelasnya di traktir makan bakso di kantin.
Tetapi, beberapa hari ini Mimi terlihat
jadi pendiam. Aci yang duduk di sampingnya menjadi khawatir.
“Kamu sakit?” selidiknya.
Mimi menggeleng dan mencoba tersenyum.
“Kayaknya kamu punya persoalan yang
belum selesai, ya?”
Mimi memang tak bisa menyembunyikan
kekalutan hatinya. Aci selalu mengetahui bila ada sesuatu yang mengganjal dalam
pikirannya. Karena dia dan Aci sudah sama-sama saling mengenal. Sejak kecil mereka
sudah main bersama. Mulai TK hingga SMU mereka
satu sekolah. Malah kini duduk berdua.
Boleh dibilang Aci bukan sekedar teman sehati tapi kawan sejati buat
Mimi.
“Mau berbagi cerita?” usul Aci.
Mimi tersenyum. Itu sudah cukup buat Aci
sebagai ungkapan “ya” dari Mimi. Maka sepulang sekolah dia mengajak Mimi ke
Ancol. Kata orang, melihat laut dan ombak yang datang tak putus-putus bisa
membuat suasana hati tentram kembali.
Di tepi pantai karnaval itulah Mimi
mengungkapkan isi hatinya.
“Aku jemu,” katanya pelan.
Aci terkejut. Setelah lebih dari
setengah umurnya dia bersahabat dengan Mimi, baru kali ini dia mendengar
kalimat itu.
“Apa sebab?”
Mimi tersenyum getir. “Entahlah. Aku
cuma merasa hidupku berjalan datar.”
“Maksudmu?”
“Sejak kecil, aku seperti berjalan di
atas garis yang telah dibuat orang tuaku. Tidak boleh begini, pamali begitu.
Malah sampai sekarang kelas dua SMU,
belum sekali pun aku merasakan menyontek.”
“Bukankah itu dapat menjadi satu
kebanggaan?” sahut Aci.
“Tapi jadinya, aku tak pernah tahu
deg-degannya saat nyontek.”
“Lebih baik kamu tidak mengetahuinya.”
“Kamu seperti Ibuku.”
Aci meringis.
“Kamu tahu, ayahku sangat keras dalam
agama. Umur tujuh tahun, aku sudah harus menjalankan salat wajib, sekali saja
tak kujalani dengan sengaja, pasti Ayah akan marah bahkan kalau perlu
memukulku. Begitu juga dengan puasa, tak pernah kulewati. Dan akhirnya
berjilbab.”
Aci memang sudah melihat Mimi berjilbab
dari kecil. Mimi pernah bilang, kalau berjilbab adalah kewajiban dari Allah.
Itu artinya Allah sangat sayang sama wanita, sehingga Dia memerintahkan pada
setiap wanita untuk melindungi segala perhiasannya dengan jilbab dari mulai
leher, rambut kepala, dan dada sampai seluruh tubuh.
Dari situlah, Aci merasa tidak salah
bila ia mengikat tali persahabatan dengan Mimi. Dia banyak belajar dari Mimi.
Meski masih secara diam-diam, dia pun punya keinginan ingin mengikuti jejak
sahabatnya itu dalam berjilbab. Minggu lalu, setelah dia mengantarkan Mimi beli
jilbab di Tanah Abang, dia kembali ke tempat itu untuk juga membeli beberapa
potong jilbab.
Aci memang selalu iri dengan Mimi, yang
teguh dalam menjalani agama juga berprestasi di sekolah. Saat di SD, Aci ingat
benar, dia pernah dibuatkan oleh Mimi ikan-ikanan dari kertas di dalam sebuah
akuarium dari bambu sebagai bahan prakarya, dan itu membuatnya memperoleh nilai
A.
Waktu di SMP, Mimi adalah ketua
OSIS-nya. Aci sering mengikuti kegiatan Mimi meskipun dia bukanlah pengurus
OSIS. Dari rapat-rapat kegiatan sampai menjenguk teman yang sedang sakit.
Di SMU, Mimi mendapat tempat sebagai
wakil di rohis. Dia juga membentuk majalah sekolah dan menjadi salah satu
redakturnya. Mimi memang mudah bergaul. Juga luwes. Tak heran kalau dia banyak
memiliki teman. Tak terkecuali dari anak cowok. Malah ada pula beberapa cowok
yang berusaha mendekatinya. Namun, sampai saat ini kesemua cowok itu hanya bisa
dekat dengan Mimi tanpa bisa memilikinya.
Itulah yang membuat Aci simpati pada
Mimi. Tetapi, sekarang dia malah jadi cemas dengan keresahan yang sudah timbul
di hati Mimi. Ia ingin sekali dapat membantu sobatnya.
“Menurutku, kamu sudah menjalani hidup
dengan benar,” kata Aci. “Lalu apa yang membuatmu menjadi jemu?”
Mimi tersenyum kecil. “Aku jadi merasa
seperti robot yang terprogram untuk melakukan segala sesuatunya dengan benar.
Padahal, sesekali manusia juga mesti berbuat salah, kan? Biar dia mengerti dan
belajar dari kesalahannya.”
Aci tak percaya perkataan tersebut
keluar dari mulut sobatnya.
“Tapi, bukankah lebih baik kita dapat
menjaga perbuatan daripada mesti memperbaikinya?”
“Justru berbuat baik lebih mudah
ketimbang harus memulainya dari satu kesalahan.”
“Aku tak mengerti ucapanmu,” tukas Aci.
“Seorang yang mengakui kesalahan yang
dibuatnya adalah orang hebat, sebab tak semua orang bisa melakukan itu. Apalagi
ditambah dengan memperbaiki perbuatannya.
Aci manggut-manggut. “Jadi, sekarang apa
yang kamu mau lakukan untuk mengusir kejemuan yang sudah timbul di hatimu?”
Mimi berpikir sejenak. “Mungkin aku akan
menjalani hidup sepertimu.”
“Maksudmu?”
“Aku akan melepas jilbabku.”
Aci bagai disambar petir di siang itu.
Serta merta dia menatap lekat-lekat bola mata sobatnya.
“Kamu serius?”
Mimi mengangguk. “Mungkin awalnya akan
tak terbiasa, tapi lama-lama aku yakin dapat melaluinya dengan mudah seperti
kamu.”
“Apa yang kamu inginkan dari hal
tersebut?”
Mimi tersenyum. “Aku ingin rambutku
dipotong pendek kayak kamu. Kemudian juga diwarnai, macam artis yang pernah
jadi figur pahlawan tanah rencong, yang kalau kena sinar matahari rambutku akan
terlihat bergradasi warna biru. Indah, kan?”
Aci tak menyahut. Dia lagi menyakini
dirinya kalau semua perkataan yang didengarnya adalah benar keluar dari mulut
Mimi.
“Ya, sudah sebaiknya sekarang kita
pulang saja,” ajak Mimi. “Hari sudah sore.”
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya,
Aci mengikuti langkah Mimi. Masih dengan mulut terkunci dan seribu keheranan.
Sesampai di rumah, Aci masih tak bisa
menghilangkan kata-kata Mimi tentang keinginannya. Pikirannya dipenuhi dengan
banyak tanda tanya. Dia tak mengerti, begitu dahsyatnya kejemuan yang menghinggapi
sobatnya sampai menimbulkan keputusan yang baginya tak layak. Bagaimana tidak,
Mimi sendiri yang bilang kalau memakai jilbab adalah suatu keharusan bagi
wanita muslim. Perintah langsung yang datangnya dari Allah. Tapi kok ya, dia
sampai nekad punya niat mau melepaskannya.
Aci memang banyak melihat hal seperti
itu juga dilakukan oleh teman-temannya yang lain. Namun, dia meyakini mereka
semua belum paham benar atau malah tak mengerti dengan apa artinya berjilbab
dan datang dari mana perintahnya. Karena kalau mereka tahu adalah Allah yang
memerintahkan, pastilah semuanya akan takut (apa memang sudah pada tak takut
lagi, lantaran kini Allah tak lagi mengazab langsung umat nabi-Nya yang
terakhir ini secara langsung seperti yang dialami umat nabi-nabi-Nya yang
terdahulu?).
Aci saja ingin merubah segala
kelakuannya dengan mengikuti jejak Mimi dalam berjilbab. Tetapi, begitu mendengar pernyataan Mimi, dia
jadi kalut. Tak percaya. Kesal. Sampai malam merambat tak juga hatinya tenang.
“Aku harus melakukan sesuatu!” seru
hatinya.
Dia tak rela, kejemuan yang hinggap di
diri sobatnya mengubah sikapnya ke arah kemunduran. Maka pagi-pagi benar,
sebelum ayam jago milik tetangganya berkokok panjang, Aci sudah bergegas
berangkat ke sekolah. Sebelumnya, dia ingin mampir ke rumah Mimi. Dia mau
mengutarakan keprihatinan hatinya. Dia akan membujuk Mimi untuk mengurungkan
niatnya yang akan melepas jilbabnya, kalau perlu dia akan melawannya (bukankah
melawan niat jahat itu adalah satu kebaikan?).
Begitu tiba di depan pagar rumah Mimi,
Aci jadi deg-degan. Dia berusaha melawan keraguan di hatinya, dia meyakini
bahwa yang dilakukannya adalah demi kebenaran. Beranjak dia memasuki halaman
rumah Mimi dan mengetuk pintu rumahnya.
“Assalamu’alaikum…!”
Terdengar jawaban dari dalam dan daun
pintu pun terbuka. Mimi muncul di hadapannya. Kaget. Aci juga tak kalah
terkejutnya. Mimi sudah siap dengan seragam sekolah dan jilbab putihnya.
“Ka-kamu….” Suara Aci terpotong.
Mimi tersenyum. Mengajak Aci masuk dan
duduk di ruang tamu.
“Ada apa, kok tumben pakai nyamper
segala.”
“Aku khawatir padamu, karena kamu
bilang….” ucap Aci terputus sembari
memandang ke jilbab Mimi.
Mimi tertawa. “Oh, itu. Lupakan saja.
Aku memang sudah merasa jemu dengan dengan kehidupanku dan kurasa semua orang
juga pernah merasakannya. Tapi, kini semua itu telah kulalui, aku bersyukur
dapat mengungkapkannya. Hingga membuat perasaanku jauh lebih baik.”
“Jadi, bagaimana dengan keinginanmu?”
tanya Aci.
“Mungkin itu memang keinginanku, tapi
tidak semua keinginan mesti dituruti, kan?”
“Kamu tak akan melakukannya?”
Mimi mendekatkan wajahnya ke Aci. Ia
tersenyum.
“Aku masih takut pada-Nya,” katanya.
Aci ikut tersenyum lega.
*****
Nusa Indah9, 3 Februari 2005
(Dimuat di Annida Eds. No. 19/XIV/16-31
Juli 2005)
Comments
Post a Comment