MASAK

Cerpen: Sokat
           Lima menit yang lalu, suami saya menelepon. Katanya, siang ini dia akan membawa seorang rekan kerjanya ke rumah, untuk diajaknya makan siang di sini. Ini adalah kali kedua dia melakukan hal tersebut. Sebelumnya, seminggu ke belakang dia pun berbuat serupa. Katanya, itu adalah satu bentuk perkenalan. Kebetulan suami saya masih baru di kantornya, jadi dia merasa perlu mengakrabkan diri pada lingkungan kerjanya. Sarana yang pas baginya, ya lewat makan siang. Apalagi rumah kami tidaklah begitu jauh dari kantornya. Hanya sepeminuman teh jaraknya.
Alasan lain dia membawa kawan kerjanya makan di rumah adalah karena masakan di sini enak. Itu menurut pendapat rekannya yang pernah dibawanya kemari lebih dulu. Dari orang itulah rekannya yang lain ingin juga merasakan. Suami saya malah senang sekali mendengarnya. Di telepon tadi, dia begitu menyanjung saya. Katanya, hasil masakan saya--terutama rendang yang tempo hari saya sediakan untuk rekannya itu--telah menjadi bahan perbincangan rekan sekantornya. Banyak yang ingin membuktikannya, salah satunya yaitu rekannya yang akan datang bersamanya siang ini.
Sebenarnya saya sangat senang mendengar berita itu. Siapa yang tidak suka kalau hasil masakannya dipuji orang? Itulah yang selalu diingini oleh semua istri. Masakan enak membuat suami jadi betah makan di rumah. Tetapi hal itu kini menjadi persoalan buat saya.
Apa pasal? Karena bila yang diingini rekan sekantor suami saya itu adalah menyantap makanan dengan lauk rendang, seperti yang pernah dinikmati rekannya yang terdahulu, saya akan kerepotan. Masalahnya bukan karena waktunya yang terbatas. Toh sekarang ini hari belum jauh dari pagi. Jadi masih merentang waktu yang cukup. Persoalannya, tak lain dari ketidakadaan Tinah. Ya, Tinah. Gadis muda yang kerap kali membantu tugas-tugas rumah tangga sejak saya menikah tiga bulan lalu itu, sedang tak ada di sini. Dia sedang ijin untuk menjenguk adiknya di kampung yang sakit. Dan dialah kunci dari masalah yang saya hadapi.
Bila rekan sekantor suami saya, yang pernah datang ke sini, menganggap masakan rendang yang dimakannya enak. Tak perlu dipungkiri. Saya juga mengakuinya. Namun, itu bukanlah buatan saya. Melainkan hasil olah tangan mungilnya Tinah. Jadi jelasnya, suami saya dan rekan sekantornya tak mengetahui hal tersebut. Sebab saya tidak pernah pula menceritakannya pada suami. Makanya dia masih mengira rendang itu asli bikinan saya. Tak heran kalau dia begitu semangat membawa rekannya yang lain datang ke sini. Padahal, saya malah menjadi ruwet dibuatnya. Apa yang harus saya lakukan? Saya sungguh bingung. Sejak telepon dari suami saya tadi ditutup, pikiran saya jadi berkecamuk tak keruan. Karena saya benar-benar tak bisa memasak rendang.
Kalau saja Tinah ada di sini, pastilah saya tidak akan menjadi pusing. Sudah sejak pagi tadi, gadis itu berangkat menuju kampungnya. Tak bisa lagi saya menghubunginya. Dialah harapan saya untuk menyelesaikan masalah ini. Beberapa jam ke depan, suami saya sudah akan tiba, tapi saya tak mengerti harus berbuat apa. Saya memang salah, mengapa saya tidak selekasnya belajar pada Tinah mengenai cara membuat rendang. Sebab saya pikir, kejadian yang lalu, dimana suami saya membawa rekan sekerjanya, tak terulang lagi. Namun nyatanya tidak begitu. Bisa jadi, usai yang sekarang, bakal ada lagi rekan-rekan lainnya dari kantor suami saya yang akan datang kemari. Dan mereka punya tujuan yang sama; ingin merasai rendang “buatan” saya.
Kalau sudah begini, rasanya saya mesti menghubungi Ibu. Meski tak ingin lagi merepotkan beliau, mau tak mau, saya harus melakukannya. Karena, selain buatan Tinah, masakan rendang yang pertama kali saya akui kelezatannya merupakan hasil olahan Ibu. Suami saya juga mengakuinya. Maka dari itu, dia menyangka lauk rendang yang saya suguhi, saat dia makan siang beserta rekannya tempo hari adalah bikinan saya. Dia pikir, saya telah mewarisi kemahiran Ibu dalam meracik daging dalam bumbu rendang.
Nyatanya dia salah besar. Ibu sendiri sudah berkali-kali menyuruh saya untuk belajar memasak rendang. Tetapi, saya malah lebih tertarik untuk membuat kue. Saya begitu mengusai segala teknik membuat kue, tapi sangat payah ketika mesti mengolah daging untuk menjadi rendang. Padahal, suami saya sangat lahap bila menyantap nasi dengan lauk rendang. Beruntung selama ini, Tinah dapat menyuguhkan rendang yang juga enak seperti buatan Ibu. Dan suami saya tetap tak mengetahui, bila rendang yang dimakannya bukanlah masakan saya. Tapi, saya tak dapat terus berbohong padanya. Untuk membuat sangkaannya itu menjadi kenyataan, saya memang harus belajar bikin rendang.
Sekarang, boleh dibilang telah menjadi saat yang tepat. Tak ada lagi orang yang harus disuruh untuk memasakkannya selain dari saya. Namun, saya tetap membutuhkan pertolongan Ibu, walau hanya dari jauh. Segera saya memencet dial telepon guna menghubungi Ibu. Kebetulan, Ibu sendiri yang mengangkat. Setelah basa-basi, langsung saja mengalir segala masalah yang saya hadapi kini.
“Sudah Ibu bilang,” kata Ibu. “Kamu itu memang harus menguasai cara memasak bermacam makanan, jangan cuma mengandalkan pembantu. Toh, mereka tidak selamanya ada di tempatmu. Iya, kan?”
Saya membenarkan perkataan Ibu. Sebagai istri, sudah selayaknya saya melakukan hal tersebut. Ada kalanya, hati saya menjadi berbunga manakala kue yang saya buat dinikmati suami. Memasak sepertinya bukan lagi menjadi kodrat buat seorang istri, melainkan suatu keistimewaan yang tidak dimiliki semua suami. Memasak adalah karya seni, sebab mesti dilakukan dengan cita rasa yang tinggi untuk hasil sempurna. Saya pikir, belum terlambat untuk belajar. Saya harus bisa memasak sebanyak yang Tinah kuasai dan selezat yang Ibu buat.
“Jadi bisa Ibu mengajari saya cara membuat rendang sekarang?”
“Sekarang?” Ibu tak percaya.
“Ya, sekarang. Lewat telepon ini.”
“Kamu yakin?”
“Bila tidak, buat apa saya menelepon Ibu?”
“Kalau begitu, cepatlah kau catat apa-apa saja yang dibutuhkan.”
Saya mengambil kertas dan pulpen, lalu mencatat segala macam bumbu-bumbu masak yang disebutkan Ibu.
“Semuanya dicampur jadi satu?” tanya saya.
“Lha iya, bersama juga dengan dagingnya.”
Uff! Daging, saya lupa apakah masih ada sisa daging di kulkas.
“Sebentar ya, Bu,” kata saya sembari menaruh gagang telepon dan berlari ke kulkas. Alhamdulillah, apa yang saya cari ada. Cukup untuk dibuat rendang. Saya kembali ke meja telepon.
“Lalu apalagi yang mesti saya lakukan?” sambung saya pada Ibu.
Ibu menjelaskan dengan terperinci setiap langkah yang harus saya kerjakan. Saya mendengarkan dan mencatat, sesekali saya bertanya bila tak jelas.
“Ibu rasa cukup sudah apa yang perlu kamu ketahui, sekarang tinggal gimana kamu mengolahnya. Tapi Ibu yakin kamu mampu untuk itu.”
Saya tersenyum mendengarnya. Tak lama kemudian, telepon pun saya tutup. Segera saya menuju dapur dan menyiapkan segala keperluan. Kini saya berpacu dengan waktu yang tersisa sampai saat makan siang datang.
Semua bumbu-bumbu saya bersihkan, dihaluskan, dan dicampur menjadi satu dalam wajan di atas kompor. Kemudian, saya masukkan daging.  Lalu saya menyiapkan kelapa untuk santannya. Saya sudah merasa seperti chef restoran yang menyiapkan makanan dengan cepat, tepat, dan lezat.
Saya tersenyum sendiri, tak menyangka bila saya dapat menyiapkan makanan dengan lauk rendang untuk suami. Rupanya bila dalam keadaan terpaksa apapun hal dapat kita lakukan. Dan saya begitu menikmatinya. Memasak memang mengasyikan, apalagi hasilnya sesuai dengan selera lidah. Semoga saja apa yang siapkan ini tak jauh berbeda dengan rendang buatan Tinah, yang pernah dinikmati suami saya dan rekan sekantornya.
Setelah saya memasukkan santan ke dalam wajan berisi daging yang sudah dibumbui. Kini saya tinggal menunggu daging menjadi empuk dan kuahnya mengental. Saya melirik jam di dinding dapur, masih ada waktu tersisa hingga suami saya tiba. Nasi di magic jar pun terlihat sudah matang. Saya bergegas merapikan meja makan. Sesekali saya memeriksa masakan saya, untuk meyakinkan empuk belumnya daging.
Saya menjadi cemas, ketika mengetahui sampai kuah bumbu rendang itu mengental, dagingnya belum juga empuk. Saya bingung, harus diapakan lagi. Maka saya segera memburu meja telepon untuk kembali menghubungi Ibu.
Tetapi, sebelum saya mengangkat gagang telepon, telepon tesebut malah berdering. Segera saya angkat. Rupanya suami saya, dia hanya bilang bahwa dia kini sudah bersiap untuk jalan kemari. Dan katanya lagi, dia tidak hanya membawa satu rekan melainkan dua orang. Saya makin panik. Setelah telepon ditutup, saya terdiam. Saya periksa lagi rendang buatan saya. Dagingnya tetap belum juga empuk. Saya menyerah. Mungkin saya mesti menerima kenyataan bahwa saya belum dapat sempurna dalam membuat rendang. Saya harus memberitahukan hal itu pada suami saya, biar dia tidak kaget bila nanti tiba di rumah. Biarlah dia mengetahui kalau istrinya memang belum bisa membuat rendang seenak buatan Tinah, pembantunya, dan Ibu.
Perlahan, saya menghampiri meja telepon. Tapi, saya masih ragu melakukannya. Apalagi kini suami saya sedang dalam perjalanan. Meski begitu, saya harus memutuskan dengan cepat langkah yang perlu saya ambil. Waktu terus merangkak mengejar saya. Dan saya pikir, saya tetap harus menelepon. Gagang telepon saya angkat dan dialnya saya pencet. Saya mendengar nada tunggu. Kemudian tersambung….
“Halo, rumah makan Sari Minang di sini, ada yang bisa dibantu?”
 *****
(Dimuat dalam kumpulan Sastra Senja DKJ, 2006-Sokat Rachman)

Comments

Popular posts from this blog

THE COFFEE BEAN SHOW (Trans TV - 2008)

Cara Mudah Membangun Struktur Skenario Bernilai Jual

CAMERA CAFE (Metro TV - 2008)