Preman Bukan Maling

Cerpen: Sokat
          Pos ronda di ujung gang itu belum sepi, meski jam di dinding pos sudah menunjuk ke pukul sebelas lewat lima belas. Aceng dan Sarwani duduk berhadapan pada bale lebar di dalam pos ronda menghadapi papan catur. Mereka saling diam dengan mata yang tak lepas dari buah catur di papannya. Sementara Tejo duduk di bangku kayu di samping pos ronda yang berdampingan dengan kali kecil berair keruh. Dia asyik bernyanyi diiringi petikan gitar di tangannya.
Persahabatan bagai kepompong….” lantun Tejo semangat.
“Ganti lagunya!” seru Aceng sambil mendorong pionnya mengancam kuda Sarwani.
Tejo berhenti menyanyi, petikan gitarnya juga ikut berhenti. Dia menatap Aceng yang masih asyik melototin papan catur.
Tejo kembali memetik gitarnya pelan dan bernyanyi lagi.
Bete, bete ah… Bete, bete ah….“ 
“Woi...! Ganti! Nggak ada lagu yang lain apa?” seru Aceng yang kini menatap pada Tejo.
Tejo mendengus kesal. “Lu maunya lagu apaan sih?”
“Rolling Stone!”
“Alaaah...! Mana gua tau!”
Aceng mendengus kesal. Dia berdiri dan hendak melangkah melewati Sarwani yang duduk bersila di depannya. Sarwani kikuk mengoyang badannya hingga membuat Kaki Aceng tersangkut bahunya. Tubuh Aceng menjadi limbung saat turun dari bale.
“Aaakh!”
Aceng jatuh persis di depan Tejo. Tejo kaget dan buru-buru bangkit. Sarwani malah melongo melihat Aceng yang nyungsep. Aceng langsung berdiri dan membersihkan kotoran di kaosnya. Lalu, dia berbalik dan mengelepak kepala Sarwani dengan wajah kesal.
“Sori!”  kata Sarwani mengelus kepalanya.
Aceng beralih menatap Tejo.
“Lu terusin catur gua, tapi jangan sampe kalah!”
Tejo beranjak naik ke bale. Sarwani bergeser memberi tempat pada Tejo. Sedang Aceng mengambil gitar yang dipegang Tejo. Dia duduk di bangku kayu yang tadi ditempati Tejo. Lalu, jarinya mulai memetik gitar dengan nada cepat.
“I can’t get no... satisfaction... I can’t get no... satisfaction,” Aceng dengan semangat menyanyikan lagu bandnya “si bibir dower” itu.
Di jalan aspal tak jauh dari pos ronda, sebuah taksi berhenti. Aceng kontan menghentikan nyanyinya. Matanya memandang ke arah taksi. Sesaat, pintu belakang taksi terbuka. Sarwani dan Tejo yang tadinya asyik menatap papan catur juga sudah ikut melihat ke arah taksi.
Tubuh semampai Anita turun dari taksi. Kemudian taksi pun berlalu. Aceng tersenyum dan berdiri sambil memegang gitar begitu tahu siapa yang datang. Si gadis muda semampai yang memakai blouse dan kerudung warna pink itu melangkah mendekati pos.
Met malem, Nit,” sapa Aceng berbasa-basi.
Sarwani dan Tejo yang melihat Anita juga langsung bangkit dan berdiri di sebelah Aceng sambil cengengesan.
“Tumben pulangnya malam?” tambah Sarwani.
Aceng menoleh sebal pada Sarwani yang ikut-ikutan. Tejo yang mau ikut mengoda langsung tutup mulut. Aceng menoleh lagi pada Anita.
Gadis semampai yang bernama asli Anita itu tersenyum. Sebuah tas kanvas warna putih terselempang di bahunya. Tangannya memegang buku-buku tebal yang didekap di dada.
“Iya, ada tugas kuliah,” jawab Anita sambil melihat gitar di tangan Aceng. Aceng menggeser gitarnya ke belakang kakinya.
“Tumben kamu juga masih di sini?” lanjut anita.
Aceng tersenyum malu. “Iya, kebetulan belum bisa tidur.”
Anita melirik arloji di tangannya. “Memangnya mau tidur jam berapa?”
“Biasanya sih azan Subuh,” tukas Aceng pelan.
Anita melongo. Sarwani dan Tejo tertawa ngikik.
***
Tak jauh dari tempat itu, tepatnya di dalam sebuah mushola. Terlihat satu sosok yang mengendap-endap menuju pintu keluar dengan hati-hati. Gelapnya suasana, karena listrik yang dipadamkan, membuat tubuh orang itu tak terlihat dari luar.
Sesaat tampak orang yang memakai topeng hitam itu mengawasi keadaan di luar. Begitu dirasa aman, dia mengangkat kain yang membungkus sesuatu itu keluar. Dan langsung dia berlari kencang.
***
“Ya, udah aku pulang dulu, ya?” kata Anita menutup pembicaraannya dengan Aceng. Dia melangkah pergi.
“Nggak mau dianter nih?” seru Aceng lagi menawarkan diri.
“Dekat aja kok pake dianter,” sahut Anita sambil terus melangkah.
“Ya, jauh dekat sama aja kok tarifnya,” kata Aceng menggoda.
Anita menatap Aceng dengan bingung. Aceng mencoba tersenyum. Anita balas senyum sambil meninggalkan pos ronda. Aceng bengong memandangi kepergian Anita. Lalu, dia duduk lagi di bangku kayu.
“Makin manis aja tuh anak,” kata Aceng pelan.
“Ya, udah lu tembak aja!” timpal Sarwani.
“Gua masih belum bisa ngasih jajan dia, man,” kata Aceng.
Ati-ati, Ceng, lama kelamaan bisa diambil orang!” tukas tejo.
Aceng bengong sambil mikirin kata-kata Tejo. Dia menatap Tejo.
Elu jangan bikin gua pesimis!”
Tejo nyengir. Tiba-tiba....
“Akh!” terdengar jeritan dari arah gang. Aceng memandang ke arah jalan di dalam gang tempat Anita tadi lewat. Teman-teman yang main catur juga bergerak bangun dan berdiri di samping Aceng memandang ke arah yang sama.
Aceng menoleh, lalu berlari ke arah sumber suara, yang lain juga mengikutinya. Mereka menemukan Anita berdiri dengan wajah ketakutan.
“Ada apa, Nit?” tanya Aceng penasaran.
Anita menunjuk ke gang kecil di sampingnya. “Tadi ada orang lari ke situ.”
Sarwani dan Tejo memeriksa gang dan kembali.
“Nggak ada apa-apa!” kata Sarwani.
“Ya, udah saya antar, ya?” usul Aceng menenangkan.
 Anita tak menjawab, tapi dia tak menolak sewaktu Aceng mengikuti langkahnya menuju pagar rumahnya. Sarwani dan Tejo hanya memandangi mereka dari jauh.
***
Wak Kosim yang berjalan tertatih memasuki mushola yang gelap gulita. Tangannya memencet stop kontak pada dinding. Tak lama, lampu neon menyala menerangi rumah ibadah itu. Wak Kosim menuju pintu kecil di samping mimbar, tempat imam memimpin salat.
Mendadak wajahnya terkejut melihat engsel pintu yang biasa terkunci gembok telah rusak. Wak Kosim bergerak cepat membuka pintu dan menyalakan lampu di ruang itu. Dia masuk ke dalam. Sesaat, dia keluar lagi dengan wajah pucat. Dia memandang keluar mushola dan bergegas pergi.
***
“Apa? Ada maling di mushola?” seru Pak RT gusar saat menerima laporan Wak Kosim di teras rumahnya ketika mau salat subuh.
“Iya, Pak, saya juga kaget, baru juga mau mau ngebangunin orang buat salat Subuh,” tutur Wak Kosim, “eh, itu mik sama amplinya udah enggak ada.”
Pak RT mengelus-elus janggutnya yang mulai ditumbuhi jenggot.
“Kurang ajar tuh maling!” ujarnya kesal.
“Iya, Pak, emang perlu diajarin tuh maling,” sambung Wak Kosim.
Pak RT menatap bingung dengan maksud Wak Kosim.
***
Setelah langit terang, terlihat Aceng melintas di depan rumah Pak RT. Pak RT yang pas  membuka pintu rumahnya, melihat ke arah jalan.
“Ceng... ke sini sebentar!” panggil Pak RT.
Aceng menghentikan langkahnya, dia memandang ke arah Pak RT yang keluar dari pintu depan rumahnya. Aceng melangkah masuk ke halaman rumah Pak RT.
“Ada apa, Pak?”
“Kamu tahu mushola sudah kemalingan? Mik sama amplifiernya hilang!”
Aceng agak terkejut dan menggeleng.
“Kira-kira kamu tahu yang maling siapa?” tanya Pak RT.
“Kalo saya tahu, saya sudah bilang ke Pak RT,” jawab Aceng.
“Tapi, benar kamu nggak tahu, kan?” lanjut Pak RT penuh selidik.
Aceng melotot. “Pak RT nggak percaya banget sih! Biar saya pengangguran, tapi buat nyolong di musholah sih haram hukumnya!”
“Kamu jangan marah begitu dong,” kata Pak RT merasa tak enak hati. “Saya kan nggak menuduh kamu.”
“Tapi kata-kata Pak RT seperti menuduh saya!” tukas Aceng kesal.
“Kalau begitu saya minta maaf,” kata Pak RT.
“Lupain aja, Pak!” kata Aceng sambil ngeloyor pergi.
“Eh, mau kemana?” tahan Pak RT.
Aceng menoleh.
“Ada apa lagi, Pak? Saya ini lagi lapar, belum nyarap,” ucap Aceng. “Pak RT mau ngasih saya sarapan?”
Pak RT bengong dan menggeleng. Aceng menghela napas dan meneruskan langkahnya.
***
Pasar yang dibelah jalan aspal itu cukup ramai. Apalagi di pagi hari, tidak cuma penjual sayuran dan ikan saja yang ramai. Tukang jual mainan anak-anak pun lumayan banyak didatangi pembeli walau cuma melihat-lihat sekedar menghibur anak yang dibawanya agar tak menangis.
Di depan tukang kue pancong, langkah kaki Aceng berhenti. Sarwani dan Tejo yang sudah mengikutinya juga berhenti. Keduanya berdiri tak jauh dari Aceng sambil memandangi televisi di penjual VCD bajakan yang memutar VCD dangdut dengan artis yang berjoget ritmis.
Aceng mengambil kue pancong yang sudah dibungkus dalam kantong plastik bening. Dia menatap si penjualnya.
“Gua minta satu, ya?”
Si penjual tampak kaget, tapi tak bisa berbuat apa-apa selain mengangguk. Aceng tersenyum dan melangkah pergi. Sarwani dan Tejo masih asyik melihat televisi. Seorang penjual tahu yang mangkal di sebelah penjual kue pancong menoleh ke penjual kue pancong.
“Kenapa lu biarin aja dia ngambil?” katanya pada si penjual kue pancong.
“Biar aja dari pada gua digampleng,” sahut si penjual kue pancong.
“Siapa sih dia?” tanya si penjual tahu lagi.
“Anaknya Haji Sarkoji, bekas jagoan di sini. Dia anak dari istrinya yang keempat, rumahnya di seberang jalan itu,” kata si penjual kue pancong seraya menunjuk ke perkampungan di seberang pasar.
“Pantesan petantang-petenteng,” ucap si penjual tahu sambil memandangi Aceng yang berdiri memperhatikan penjual ikan yang berjejer di pinggir jalan.
Tejo yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan dua pedagang itu, beranjak menghampiri Aceng dan membisikkan sesuatu. Aceng menoleh pada si penjual tahu dan melangkah menghampirinya.
Si penjual tahu yang melihat Aceng melangkah ke arahnya menunduk pura-pura tak melihat. Begitu Aceng dekat, tiba-tiba tangan Aceng menempeleng si penjual tahu. Si penjual tahu kaget dan meringis memegang telinganya. Sarwani yang masih asyik menonton televisi kaget dan menghampiri Aceng.
“Lu mau ikut campur urusan gua sama dia?” bentak Aceng pada si penjual tahu sambil menunjuk ke penjual kue pancong.
“Nggak, Bang, nggak,” kata si penjual tahu ketakutan.
“Udah, Bang, nggak papa kok, saya ikhlas ngasih kue itu,” sambung si penjual kue pancong.
“Sudah, Ceng, nggak enak diliat orang,” bisik Sarwani sambil melirik ke orang-orang di pasar yang menoleh pada mereka.
Aceng menggigit lagi kue pancong yang sedari tadi dipegangnya, kemudian, dia melangkah pergi. Sarwani dan Tejo mengikutinya dari belakang. Si penjual kue pancong menoleh pada si penjual tahu.
“Makanya mendingan diam, kan?” ucapnya.
Si penjual tahu masih meringis mengusap kupingnya.
***
Di ujung pasar, langkah kaki Aceng berhenti. Dia melihat ke satu toko servis elektronik. Dia menoleh pada Sarwani dan Tejo, lalu memberikan kue pancong yang dipegangnya pada Sarwani. Kemudian, dia melangkah menghampiri seorang pemuda yang berdiri di depan toko. Sarwani dan Tejo mengikuti langkah Aceng di belakang. Si pemilik toko terlihat sedang meneliti amplifier berwarna hitam.
“Berani nawar berapa, Koh?” tanya Aceng tiba-tiba pada si pemilik toko.
Si pemilik toko menoleh pada Aceng, dia menggeleng. “Belum tau nih, lagi diliat dulu kondisinya.”
Pemuda yang dihampiri Aceng dan punya nama asli Marwan, menjadi kaget melihat kedatangan Aceng. Aceng tersenyum kecil menoleh pada Marwan, dia merangkul Marwan dan mengajaknya pergi.
“Ikut gua sebentar, Wan,” kata Aceng pelan.
Marwan ragu mengikuti langkah Aceng menjauhi toko.
“Lu mau jual tuh ampli? Dapet dari mana lu?”
Marwan tampak ketakutan. Aceng kesal dan langsung menonjok wajah Marwan. Tapi, Marwan terburu sadar dan menangkis serangan Aceng dengan tangan kanannya. Aceng gusar, dia menendang perut Marwan. Marwan terkena dan jatuh. Aceng memburu Marwan, dia merenggut leher kaos Marwan di tanah. Aceng menonjok wajah Marwan berkali-kali.
Sarwani dan Tejo langsung memegangi tangan Aceng. Marwan tampak terkulai di tanah. Aceng menepis tangan Sarwani dan Tejo. Dia menarik leher kaos Marwan lagi.
“Sekarang lu ngaku, itu ampli dari mushola di tempat gua, kan?” kata Aceng dingin.
Marwan manggut-manggut ketakutan sambil melindungi wajahnya. “Sori, Ceng, gua khilaf.”
Aceng menatap tajam pada Marwan.
“Gua nggak mau urusan ini jadi panjang, tapi gua nggak mau ngeliat lu ngelakuin itu lagi. Ngerti?” katanya pelan dan tajam.
“Iya, iya gua kapok,” ringis Marwan.
Aceng menghempaskan tubuh Marwan kembali ke tanah. Aceng berdiri dan memandang ke toko servis. Dia melangkah menghampirinya. Si pemilik toko segera meletakkan amplifier yang dari tadi dipegangnya ke atas etalase. Aceng dengan tenang mengambil mik dan amplifier yang tadi mau dijual Marwan pada toko itu. Lalu, dia melangkah pergi meninggalkan toko servis diikuti Sarwani dan Tejo.
****
Wak Kosim sangat gembira waktu Aceng datang mengembalikan mik dan amplifier yang hilang. Pak RT yang hadir juga tak bisa menutup rasa malunya karena sudah berprasangka jelek sama Aceng.
“Gua sih terima kasih banget sama elu, Ceng,” kata Wak Kosim. “Kalo ini mik sama ampli kagak balik, gua musti teriak-teriak buat azan sama bangunin Subuh.”
“Jangan begitu, Wak, saya cuma bantu-bantu aja kok,” ucap Aceng.
“Kenapa nggak kamu bawa ke polisi malingnya?” tanya Pak RT.
Aceng menoleh pada Pak RT. “Pak RT, nggak semua maling jadi bener kalo dibawa ke polisi, biar aja mereka belajar dari kesalahannya.”
“Ah, elu, kayak ustadz aja ngomongnya,” timpal Wak Kosim.
Aceng meringis. “Ya, gini-gini babe saya kan juga haji, Wak.”
Wak Kosim tertawa. “Bener juga kata lu.”
Pak RT ikut tertawa. Aceng menoleh lagi pada Pak RT.
“Jadi, gimana janji Pak RT, katanya mau nraktir saya makan kalau bisa menemukan mik sama ampli ini,” tukas Aceng.
Pak RT terkejut dan langsung diam. “Memangnya saya janji seperti itu?”
Aceng diam menoleh pada Sarwani dan Tejo.
“Nggak ada salahnya ngasih makan nih anak-anak, Pak RT,” potong Wak Kosim membela.
Pak RT memandang pada wak Kosim.
“Iya, Pak, itung-itung selamatan, biar dapat berkahnya,” timpal Sarwani.
Pak RT merasa tak enak juga. Dia menghela napas panjang sambil meraba dompetnya di saku belakang celananya. “Jadi kalian mau makan apa?”
“Sate kambing aja Pak RT!” cetus Aceng semangat.
“Setuju!” seru Wak Kosim.
Pak RT menatap Wak Kosim lagi dengan heran. “Wak Kosim mau ikutan juga?”
Wak Kosim tersenyum malu-malu. “Ya, kalo sate kambing sih mau, Pak RT, biar tambah kenceng nih suara!”
Aceng, Sarwani, dan Tejo tertawa. Tinggal Pak RT yang kelimpungan menghitung lembaran uangnya yang bakal melayang.
*****

Comments

Popular posts from this blog

THE COFFEE BEAN SHOW (Trans TV - 2008)

Cara Mudah Membangun Struktur Skenario Bernilai Jual

CAMERA CAFE (Metro TV - 2008)