Iri Bukan Benci

Cerpen: Sokat
         Satu hal yang paling tidak menyenangkan saat ini adalah melihat ke mading. Tapi mau bagaimana lagi, mading itu terletak tepat di muka pintu kelas saya. Jadi, setiap mata anakyang keluar dari kelas saya pasti akan mampir sebentar ke mading, termasuk juga saya.
Sebenarnya yang menjadi masalah bukanlah letak madingnya, sebab sejak saya masuk sekolah sampai kelas tiga ini, mading tersebut memang sudah ditaruh di situ. Kini, kenapa saya mengungkapkan ketidaksenangan saya terhadap mading? Tak lain lantaran berita terbaru yang dimuatnya.
Berita tentang Inet. Berita mengenai keberhasilan Inet menjuarai perlombaan pidato bahasa Inggris se-Jabotabek. Dahsyat memang. Tapi kenyataannya memang begitu. Dan itulah yang membuat saya sebal menoleh ke mading.
Sudah dua bulan ini berita yang mengulas anak itu dimuat di majalah dinding sekolah kami. Bulan lalu, Inet dinobatkan menjadi Putri Sekolah tahun ini. Sebuah acara putri-putrian dengan merunut pada perlehatan Putri Indonesia. Dan, itu sudah membuat dirinya terkenal ke seantero kelas.
Padahal, Inet baru kelas satu. Jelas ini menjadi berita tak sedap buat para senior. Apalagi perwakilan kelas tiga tumbang semua. Bahkan, satu-satunya anak kelas tiga yang bersaing dengannya di tiga besar pun keok. Dan yang menyakitkan lagi karena anak yang keok itu adalah saya.
Malu? Jelas. Masak senior lewat sama anak bau kencur. Makanya para senior cewek, suka pada menyesal, kenapa dulu saat MOS tidak mengerjai Inet habis-habisan. Tapi, siapa yang mengenal Inet waktu itu? Anak pendiam dan penurut itu mana bisa menarik perhatian.
Makanya, saat dia muncul menjadi Putri sekolah, semua mata terbelalak. Terutama mata anak-anak cowok dari kelas satu sampai kelas tiga. Semuanya mencoba mendekati Inet. Pingin berkenalan. Pingin jadi temannya. Ada juga yang nekat mengucap cintanya. Satu isu yang benar-benar tak sedap buat telinga para cewek senior, yang di dalamnya terdapat saya.
Jadi, wajar kalau sekarang saya tak begitu senang atas mading. Sekali lagi bukan sebab letaknya, melainkan isinya yang melulu membahas Inet. Inet yang telah membuat saya keok di hadapan segenap penghuni sekolah ini. Inet yang juga adalah satu-satunya adik kandung saya.
***
Iri?
“Saya tidak iri padamu,” ucap saya waktu Inet melihat saya marah-marah terus padanya.
“Habis apa namanya?” tanya Inet.
“Saya cuma tak suka kamu pamer di sekolah!”
“Tuh, kan? Rasa tak suka itu lahir dari perasaan iri, jadi arahnya ke pikiran negatif,” sahut Inet.
Berdekatan dengan Inet, pikiran saya memang tak bisa mengarah pada hal-hal yang positif. Lebih enak kalau salah satu tak ada di rumah. Kalau melihat Inet, aromanya mau menjitak kepalanya saja.
“Ya, sudah terserah apa katamu,” ucap saya. “Lebih baik kamu cepat membereskan kamar saya.”
Inet melongo. “Lho, kenapa musti saya. Bi Surti kan ada?”
“Saya maunya kamu yang membereskan. Mengerti?”
“Kalau saya tak mau?” kata Inet.
“Maka saya akan memberitahu ke semua anak di sekolah bahwa sampai lulus SD, kamu masih suka mengompol!”
Inet terkejut. “Kakak kok jahat kayak gitu?”
“Sekarang tinggal kamu pilih, mau membereskan kamar saya atau tidak?”
Sambil cemberut, Inet bangkit dari duduknya di sofa ruang tamu itu. Menuju kamar saya. Saya pun ikut berdiri, tapi menuju pintu luar. Sebelum membuka pintu saya menoleh pada Inet.
“Net, saya mau kamar itu sudah bersih saat saya kembali.”
Inet menutup pintu kamar saya dan menenggelamkan dirinya di sana. Saya tertawa penuh kemenangan. Akhirnya saya bisa menguasai Inet. Dia boleh jadi terkenal di sekolah, tapi di rumah, dia adalah pecundang buat saya.
***
“Inet!!!”
Inet datang tergopoh-gopoh menemui saya di kamar.
“Ada apa sih, Kak?”
Saya melotot padanya. “Kamu kan tahu, hari ini hanya kamu yang masuk ke kamar saya selain saya?”
“Iya, benar. Memangnya kenapa?”
“Kenapa-kenapa? Pasti kamu tahu dong kalau ada uang di dalam buku ini?” kata saya sambil mengacungkan sebuah buku tulis yang sedari tadi ada di meja belajar.
“Tidak, saya tidak mengetahuinya,” bantah Inet.
“Jangan mengelak. Karena maling biasanya suka begitu.”
“Lho, kok Kakak menuduh saya maling.”
“Habis siapa lagi yang mengambilnya?”
“Mungkin Kakak lupa menaruhnya?”
“Tidak mungkin! Saya itu menaruhnya semalam, dan tadi kelupaan mau dibawa.”
“Tapi, Inet tidak mengambilnya. Sungguh!”
“Ada apa sih ribut-ribut?” Tiba-tiba Ibu datang menengahi.
“Inet mencuri uang saya, Bu,” kata saya saklek.
“Bohong, saya tidak melakukannya, Bu.” elak Inet.
Saya menceritakan awal mula kejadiannya. Ibu manggut-manggut, entah mengerti atau sekedar biar dibilang mengerti dan wibawa di depan kami anak-anaknya.
“Jadi, kamu benar menaruhnya di dalam buku itu?” tanya Ibu seolah Detektif Conan membuka penyelidikan.
“Saya belum pikun kok, Bu.”
“Lalu kenapa kamu menuduh Inet yang mengambilnya?”
“Karena Inetlah yang ada di dalam kamar begitu saya pergi.”
“Kenapa kamu ada di kamar Kakakmu, Net?” tanya Ibu pada Inet.
“Saya sedang merapikan kamar ini.”
“Kamu? Merapikan kamar Kakakmu?” suara Ibu agak kaget.
Inet cuma mengangguk.
“Kenapa harus kamu?”
“Karena… karena….” Inet memandang ke saya. Ibu juga jadi ikut-ikutan.
“Pasti kamu yang menyuruhnya, ya?” tuduh Ibu pada saya.
“Ya, Ibu mana mungkin sih saya menyuruhnya, kayak tak ada kerjaan saja,” elak saya bersilat lidah. “Tadi, saya itu taruhan dengan Inet, dan siapa yang kalah harus merapikan kamar si pemenang. Dan Inet kalah.”
“Kamu ini, sama adik saja pakai main taruhan segala.”
“Ya, Inet sendiri juga mau kok. Ya, kan, Net?”
Inet memandang saya dengan pasrah. Dia mengangguk.
“Tapi kamu tidak sampai mengambil uang Kakakmu, kan?” timpal Ibu lagi.
“Masak sih saya harus melakukan itu, Bu? Saya juga tak tahu dimana dan berapa uang Kakak yang hilang.”
Uff! Saya lupa. Sejak tadi saya belum memberi tahu Inet berapa jumlah uang saya yang hilang. Tetapi, masak sih dia tak tahu. Kan dia yang mengambilnya.
“Saya benar-benar tidak mengambilnya!” sambung Inet.
Ibu menatap saya lekat.
“Berapa uangmu yang hilang?” tanyanya.
“Seratus ribu.”
“Seratus ribu? Kamu benar tidak melihatnya Inet?” tukas Ibu.
“Ibu kok jadi ikut menuduh saya?” balas Inet.
“Oh, eh, maaf. Ibu tak menuduhmu. Hanya bertanya apa kamu tak melihatnya saat merapikan kamar ini?”
Inet diam dan kalah. “Begini saja, Bu,” katanya. “kalau saya ini dituduh sebagai orang yang mengambilnya, ya saya terima. Tapi saya tak bisa mengembalikan uang itu karena memang tak ada pada saya.”
Ibu membelai rambut Inet.
“Jangan bicara begitu, sayang. Ibu tak menuduhmu kok.” Kata Ibu sambil memandang saya. “Sebaiknya kamu cari dulu lebih teliti lagi dimana uangmu itu. Dan Ibu tunggu sampai besok hasilnya.”
Kemudian, Ibu merendeng Inet dan membawanya pergi dari kamar saya. Saya tersenyum kecil. Inet memang pecundang buat saya. Tapi, dimana uang saya sebenarnya berada? Cepek ceng, bo!
***
“Alin!”
Saya menoleh. Yudith berlari-lari kecil mengejar langkah saya. Saya menunggunya.
“Ada apa?” Tanya saya.
“Maaf, apa kamu kehilangan uang?” tanyanya berteka-teki.
“Uang?” ucap saya teringat kembali nasib naas seratus ribuan saya yang lenyap kemarin dan bikin saya ribut dengan Inet. Saya mengangguk.
Yudith tertawa. Dan mengeluarkan selembar kertas merah bergambar sang Proklamator dari bajunya.
“Ini, uangmu. Kemarin saya temukan di dalam Teenlit yang kamu pinjamkan ke saya.”
Saya melongo menatap uang itu. Lalu saya menepuk jidat saya keras. Saya lupa. Kemarin itu setelah menyuruh Inet merapikan kamar, saya menuju rumah Yudith dan meminjamkan Teenlit yang malamnya selesai saya baca. Dan saya baru ingat bukan ke dalam buku tulis saya menyelipkan uangnya tapi ke Teenlit itu. Saya merasa bersalah telah menuduh Inet.
Sepulang sekolah saya menemui Inet di kamarnya.
“Boleh saya bicara?” kata saya pelan.
Inet menatap saya curiga. “Silakan.”
“Saya mau minta maaf, telah menuduhmu mencuri uang saya.”
“Sejak kemarin saya telah memaafkan dan melupakannya,” balas Inet.
“Rupanya uang itu ada di buku yang saya pinjamkan pada Yudith. Tadi dia sendiri yang mengembalikannya.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Saya menatap Inet. Menatap adik satu-satunya yang saya miliki, yang akhir-akhir ini saya lukai perasaannya.
“Net, saya sudah banyak berdosa padamu,” ucap saya.
Inet tersenyum.
“kalau kamu mau, kamu boleh membalasnya sekarang,” sambung saya.
Inet menatap saya lekat. Lalu tersenyum lagi.
“Kalau saya membalas perbuatan Kakak dengan perbuatan yang sama, maka saya tak akan mendapat kemudahan dalam berdoa.”
“Kemudahan berdoa? Maksudmu?” saya tak jelas dengan perkataan Inet.
“Kakak telah berbuat zalim terhadap saya, dan doa orang-orang yang dizalimi akan dengan mudah didengar dan dikabulkan oleh Tuhan.”
Saya melongo. Lalu, buru-buru bertanya, “Apa kamu sudah berdoa agar Tuhan menghukum saya?”
Inet tersenyum lebar dan penuh kemenangan.
“Tidak,” ucapnya. “Saya berdoa agar selalu diberi kemudahan dalam belajar, biar bisa lulus dalam seleksi ikut olimpiade Matematika bulan besok.”
Saya ternganga. Menatap Inet yang tetap tersenyum penuh kemenangan. Oh! Apakah saya harus usul pada Ketua OSIS agar memindahkan letak mading dari depan pintu kelas saya?
*****
 (Kawanku No. 34 – 2006/ 21-27 Agustus 2006 - SR)
Note :
Cepek ceng : seratus ribu.

Comments

Popular posts from this blog

THE COFFEE BEAN SHOW (Trans TV - 2008)

Cara Mudah Membangun Struktur Skenario Bernilai Jual

CAMERA CAFE (Metro TV - 2008)