NILAI

Cerpen: Sokat
        Alya terhenyak di bangkunya pada deretan depan. Matanya memandangi kertas ulangan matematika yang dipegangnya. Seperti tidak percaya, dia membolak-balikkan, mengulang-ulang melihat, tapi tidak ditemukan perubahan apapun. Angka yang mengisi kotak nilai di kertas itu tetap saja sama. Enam.
Ia mendengus kesal. Sehari penuh ia mempersiapkan diri untuk ulangan itu. Berkutat dengan teori-teori, angka-angka, dan berbagai rumus. Di saat ulangan pun ia yakin sudah mengisinya dengan benar. Tetapi ternyata tidak. Nilainya cuma mentok di enam. Ia merasa semua jadi sia-sia belaka. Buat apa capek-capek belajar, kalau hasilnya hanya segini! Gerutu hatinya.
Ia kecewa. Pelajaran matematika yang telah dilahapnya selama ini, rupanya belum benar-benar melekat di kepalanya. Dia mulai membanding-bandingkan dengan beberapa temannya, yang pada ulangan itu sudah nekat potong kompas alias menyontek, dan malah memperoleh nilai bagus.
Apakah orang memang harus menyontek untuk memperoleh nilai bagus? Tiba-tiba ia berpikir begitu. Ia termangu. Pikirannya segera terkoyak-koyak oleh pertanyaan itu. Sebentar saja masalah tersebut sudah memenuhi ruang di dalam tempurung kepalanya. Berputar-putar hingga membuat kepalanya pening.
Tak lagi bisa ia berkonsentrasi. Pertanyaan tadi telah membawa pengaruh ke seluruh tubuhnya. Gairah belajarnya memudar. Ia hanya duduk mematung di bangkunya, dan benar-benar tidak menangkap satu meteri pun yang diberikan guru-gurunya selama pelajaran berlangsung. Pertanyaan itu telah menutup jalan bagi masuknya hal lain. Menusuk-nusuk hatinya dengan menimbulkan gejolak yang membuat perutnya menjadi mual.
Sampai bel akhir menjerit garang, belum juga ia menemukan jawaban yang diharapkan mampu menuntaskan persoalannya. Pulang ke rumah, hatinya tidak juga bisa tenang. Pertanyaan itu seperti terus mengejarnya. Mendengung-dengung di kedua telinganya. Tapi ia tidak menemukan sesuatu pun di rumah yang dapat meredakan kegelisahannya.
Ternyata rumah memang sudah tidak lagi bisa menjawab segala masalah. Maka ia pun mengurung dirinya di dalam kamar. Sambil berbaring di tempat tidurnya, dia melayangkan pikirannya. Mencoba menalar-nalar, meraba-raba dengan logikanya. Kenapa orang mesti menyontek untuk mendapatkan nilai bagus? Dadanya kembali membuncahkan pertanyaan itu.
Ajakan mamanya untuk makan siang menjadi tidak digubrisnya lagi. Dirinya sudah terbenam pada kubangan persoalan yang kian membelenggu alam pikirannya, dan makin haus adanya kejelasan. Apakah orang-orang sudah tidak lagi mempercayai kemampuannya sendiri? Batinnya terus berbisik.
Ataukah memang kemampuan mereka begitu minim sehingga perlu menyontek untuk mendapatkan hasil yang maksimal? Kalau begitu, kenapa para guru selalu melarang murid-muridnya melakukan nyontek? Mereka malah mengajarkan agar selalu membuang jauh-jauh keinginan untuk menyontek.
Kata mereka bahwa menyontek itu hanya menyesatkan. Membuat orang jadi malas untuk berpikir. Karena maunya hanya meniru sesuatu yang sudah ada. Mematikan daya kreatif seseorang. Tetapi, kenapa masih saja ada orang yang suka akan menyontek?
Aneh. Apakah nyontek itu memang benar-benar diperlukan? Lalu, perlu untuk siapa? Dan untuk apa? Ataukah sekedar untuk memperoleh nilai bagus? Tapi apakah itu amat penting? Menyontek demi sebuah nilai. Apakah nilai itu adalah akhir dari segala yang diinginkan?
Apakah dengan begitu juga akan mendatangkan suatu kepuasan? Jika benar, untuk apa lagi orang harus bersusah payah belajar, capek-capek mencari ide, gagasan, atau menciptakan sesuatu, kalau kesemuanya bisa dicapai juga dengan jalan menyontek. Hasilnya kan bakal sama atau malah mungkin lebih baik.
Tetapi, kenapa guru-guru tetap tidak pernah mengizinkan untuk menyontek? Dan selalu mengharamkan hal itu. Padahal, kegiatan tersebut sering kali terjadi di depan hidung mereka. Mulai dari yang sepele, seperti membuat pe-er, hingga yang lebih rumit, dengan mencuri ide misalnya. Semua terasa lumrah.
Para penyontek pun bermunculan di mana-mana. Di depan, di belakang, di kanan, di kiri, semua sudah biasa menyontek, meniru, dan menjiplak. Namun, mengapa hal yang sudah biasa dan menjadi kebiasaan itu masih tidak juga dianggap baik dan dibenarkan melakukannya.
Sungguh membingungkan! Kepala Alya menjadi berdenyut-denyut. Degup jantungnya begitu keras. Dadanya kembang-kempis tak beraturan. Napasnya menjadi sesak memikirkan semua itu. Dahinya sudah bosah-basih oleh keringat. Beban pikirannya makin bertambah. Ia jadi begitu lelah.
Pandangan matanya masih membentur langit-langit kamar. Sorot matanya kosong menerawang, seperti menembus dimensi lain. Tubuhnya dirasa menjadi ringan. Ia bagai melayang, mengawang dalam ruang dan waktu yang asing.
Tiba-tiba segalanya terhenti. Detak jantungnya kembali normal. Aliran darahnya tidak lagi cepat. Dadanya sudah teratur naik-turun. Pikirannya yang telah tersumbat pun jadi terkuak. Gejolak yang tadi memadati dadanya kini berkurang dengan meletupkan satu percikan.
Mengapa aku tidak mencoba untuk juga menyontek? Ia tak mengira kalau hal itu akan menyeruak dari pikirannya, tapi ia tetap tersenyum seperti orang yang baru saja menang undian.
Segera ia pun bangkit dan melangkah keluar kamar. Semuanya telah seperti semula. Perutnya yang sejak sekolah tadi tidak diisi mulai terasa mengelitik-gelitik. Nafsu makannya menyala lagi. Ia merasa lebih senang. Masalah yang sudah membelit pikirannya telah memperoleh titik pemecahan.
Dua minggu kemudian, Pak Kus, guru matematika akan kembali mengadakan ulangan. Dengan suka cita Alya menyambut saat yang dinanti-nantinya. Pada malam menjelang ulangan, ia pun bersepi diri di dalam kamarnya. Membuka kembali bab-bab pelajaran yang akan diujikan.
Tapi kini tidak sepenuhnya dia mempelajari materi-materi dari bukunya itu. Separuh waktunya dipergunakan untuk membuat catatan-catatan kecil sebagai bahan contekan. Sepertinya ia sudah begitu yakin dengan apa yang dilakukannya.
Tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang belum pernah kulakukan, katanya dalam hati sembari terus menyalin segala rumus pada kertas-kertas kecil itu. Lewat tengah malam barulah ia dapat berbaring di kasur empuknya. Mungkin disebabkan terlalu capek, ia menjadi cepat terlelap.
Namun, keheningan malam tidak juga dapat membuat tidurnya tenang. Ia tampak gelisah. Mimpi-mimpi telah merasuk dalam lelapnya. Di situ, ia memang benar-benar memperoleh nilai bagus pada ulangan matematika, yakni sembilan.
Ia tersenyum lepas. Karena di antara teman-teman sekelasnya hanya dia dan Eko, si ketua kelas, yang bisa berbagus nilai. Maka ia pun tak henti-hentinya bersorak, mempertontonkan nilainya itu pada anak-anak lain yang melihatnya dengan pandangan iri. Dan ia amat sangat puas karenanya.
Apa yang diingininya sudah tercapai. Tak bosan-bosan dia memandangi kertas ulangannya itu. Dilihatnya lama-lama. Pak Kus sudah menorehkan nilai tertinggi yang pernah dicapainya, meski harus dengan menyontek. Tapi ia berusaha tak peduli walaupun sudah ada satu perseteruan yang menyesaki dadanya. Bibirnya dipaksa tersenyum guna menepis rasa hambar yang menyelimuti benaknya.
Mendadak, ada percikan api di atas kertas ulangan yang dipegangnya. Menyambar kian kemari. Melahap setiap bagian kertas. Satu lidah api berhasil pula menjilat tangannya. Ia tersentak kepanasan dan segera sadar dari tidurnya. Didapati tubuhnya sudah dilapisi peluh. Ia terpaku. Mengingat-ingat apa yang baru saja dilewatinya. Hatinya bergidik.
Kepalanya menoleh pada catatan-catatan kecil yang tadi dibuatnya. Yang rencananya besok akan dipakai sebagai contekan. Perlahan, ia bangkit dan beranjak menghampiri meja belajarnya di mana lembar-lembar catatan itu masih berserakan.
Ia mengumpulkan satu-persatu dan memandanginya. Lalu, ia teringat akan api tadi. Masih dirasa panasnya api yang menjilat tangannya. Hatinya serentak menggelegak, tahu-tahu kelima jemari tangan kanannya mencengkeram kertas-kertas itu. Meremas-remas. Melumatkannya serta menjebloskannya ke dalam tempat sampah di kaki meja.
“Ternyata bukan ini yang kuinginkan,” kata hati kecilnya.
Kemudian ia melangkah lagi menghampiri meja belajarnya. Duduk. Menyalakan lampu kecil di atas meja itu. Dan membuka buku matematika. Malam terus merangkak ….

***
(Kawanku No. 12/XXXIV, 13-19 September 2004)

Comments

Popular posts from this blog

THE COFFEE BEAN SHOW (Trans TV - 2008)

Cara Mudah Membangun Struktur Skenario Bernilai Jual

CAMERA CAFE (Metro TV - 2008)