Siaran Pers Forum Lingkar Pena Tentang PENARIKAN BUKU YANG DITUDUH PORNO
PENARIKAN BUKU-BUKU YANG DITUDUH BERMUATAN PORNOGRAFI
Beberapa hari terakhir ini berbagai media, baik cetak,
on-line, dan televisi, memberitakan penarikan
buku-buku yang dilaporkan bermuatan pornografi dan kekerasan dari
perpustakaan-perpustakan Sekolah Dasar di beberapa daerah. Judul-judul buku
tersebut adalah: Ada Duka di Wibeng (penulis: Jazimah Al-Muhyi), Tidak Hilang
Sebuah Nama (penulis: Galang Lufityanto), Tambelo: Kembalinya Si Burung Camar
(penulis: Redhite K.), Tambelo: Meniti Hari di Ottawa (penulis: Redhite K.),
Syahid Samurai (penulis: Afifah Afra), Festival Syahadah (penulis: Izzatul
Jannah), dan Sabuk Kiai (penulis: Dadang A. Dahlan).
Terkait dengan buku Ada Duka di Wibeng, Tidak Hilang Sebuah
Nama, Syahid Samurai, dan Festival Syahadah, ditulis oleh anggota Forum Lingkar
Pena (FLP). FLP adalah organisasi pengaderan penulis yang sejak awal
pembentukannya pada tahun 1997 memiliki visi mencerahkan masyarakat melalui
tulisan. Dalam menulis berbagai karya, para anggota FLP memiliki sikap untuk
tidak menulis karya yang membawa pada kemudharatan. Para anggota FLP juga ada
di garda depan dalam menolak segala bentuk karya yang bermuatan pornografi.
Badan Pengurus Pusat (BPP) FLP melihat telah terjadi
distorsi dan penyesatan dalam kasus penarikan buku ini.
Distorsi pertama, bahwa persoalan bukan pada isi buku,
tetapi pada distribusi buku-buku tersebut sehingga masuk ke perpustakaan
Sekolah Dasar dalam hal ini melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) 2010 sebagaimana
pemberitaan yang beredar luas.
Dalam hal peredaran dan distribusi buku dalam proyek
pemerintah, persyaratan yang harus dipenuhi salah satunya adalah LOLOS
PENILAIAN Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional. Buku-buku tersebut sudah lolos
penilaian dengan Surat Keputusan (SK) yang menyatakan layak untuk dijadikan
referensi dan tercetak di belakang sampul buku. Sehingga dari sisi
kelayakan-bacanya telah dijamin oleh lembaga yang berwenang.
Jika kemudian buku-buku yang layak baca dan dijamin oleh
lembaga yang berwenang dan memiliki kredibilitas seperti Pusat Kurikulum dan
Perbukuan, kemudian secara konten dituduh tidak layak bahkan porno. Ada
persoalan yang perlu diteliti dengan lebih mendalam terkait distribusi
buku-buku tersebut sehingga tiba di Sekolah Dasar.
Distorsi kedua adalah pemberitaan media yang tendensius.
Hampir semua berita di media, baik cetak, on-line, maupun televisi, dilakukan
tanpa ada check dan balance. Jurnalis media tidak meminta pendapat pakar dan
menelan mentah-mentah pernyataan dari beberapa sumber berita, yang kami
sinyalir tidak (belum) membaca buku-buku tersebut secara menyeluruh. Beberapa
istilah dalam buku (yang sesuai konteks cerita) disimpulkan sebagai istilah
porno, kemudian langsung menuduh buku-buku tersebut adalah buku porno. Terlihat
juga kurang pahamnya media terhadap defenisi pornografi.
Distorsi ini menurut kami sangat mengkhawatirkan, karena
bila tidak diluruskan maka akan terjadi fitnah, pembunuhan karakter (terhadap
penulis), juga pembalikkan akal sehat. Di satu sisi kita melihat semakin banyak
karya, baik buku juga tontonan yang jelas-jelas bermuatan pornografi dan
vulgar, tetapi seakan tak tersentuh. Buku-buku FLP yang mengajak masyarakat,
terutama remaja, kepada kebaikan, malah dituduh sebagai buku porno.
Semoga kasus ini menjadi titik untuk membereskan mekanisme
dan distribusi buku-buku proyek DAK. Sekaligus, dan sekali lagi, penolakan
terhadap karya bermuatan pornografi, yang selama ini telah sering disuarakan
oleh FLP. Semoga siaran pers ini dapat mengklarifikasi banyak hal.
Jakarta, 13 Juni 2012.
Ketua Umum BPP FLP 2009-2013
Setiawati Intan Savitri
Sekretaris Jenderal BPP
FLP 2009-2013
Rahmadiyanti Rusdi
Sumber: FLP
Lalu buku itu sebenarnya untuk segmen apa ya? Sapa pikir bisa saya temukan penjelasannya di press release ini. Saya juga heran mengapa penulis FLP menulis naskah semacam itu. Butuh klarifikasi :) salam
ReplyDeleteBuku itu untuk segmen remaja. Sebagai bahasan contoh hal yang harus dihindari. Sebenarnya memang harus dibaca keseluruhan sehingga mengerti konteks yang dimaksud dan hubungannya dengan cerita.
ReplyDelete