Ulang Tahun [part 2 - tamat]
Cerpen: Sokat Rachman
Kita mengartikan
perjuangan mereka dengan bentuk kesenangan, bukan pada penerusan cita-citanya:
menjadikan bangsa ini benar-benar merdeka dan mampu berdiri tegak di hadapan
bangsa lain.
Saudara-saudara bisa
lihat betapa sulitnya bangsa kita untuk bisa mencapai kemandirian. Kita ambil
contoh saja soal pangan.
Semua tahu negeri kita ini bertanah subur, tapi kenapa masih mesti impor beras dari negara lain, negara yang baru merdeka dan belajar dari kita tentang pertanian pula. Lucu, kan?
Petani kita malah
keteteran menghadapi pasokan bahan pangan dari luar yang beredar di pasaran
itu. Harga komoditi yang mereka hasilkan jauh dari harapan untuk dapat hidup
lebih.
Bisa dibayangkan
bagaimana nantinya. Kita ini sudah kadung terlena pada kenangan pernah menjadi
hebat di mata dunia. Tetapi, itu masa lalu. Sekarang kita telah jauh
tertinggal, tengoklah negara sebelah, mereka sudah mencap diri sebagai negara
yang penuh pesona.
Padahal kita punya
segalanya yang lebih dari itu di sini, tapi kita tak pernah mau mengembangkan
menjadi sesuatu berharga. Kita lebih senang menawarkan hal itu pada pihak asing
untuk mengolahnya yang hasilnya tentu lebih menguntungkan mereka ketimbang
kita.
Kita lebih suka
dipekerjakan mereka daripada menggaji mereka.
Alhasil, setelah sekian
lama kemerdekaan dikumandangkan tak juga ada perubahan dalam kehidupan kita berbangsa.
Disadari atau tidak, kita
masih terbelenggu dalam nuansa penjajahan. Ini yang harus kita sikapi dengan
cermat, jika tak ingin keadaannya terus berlangsung. Kita harus bangkit.
Bangun dari buaian mimpi
yang membekukan otak di tempurung kepala kita. Karena kita memang adalah bangsa
yang besar. Dan itu harus dibuktikan kembali.
Itu adalah suatu tugas
besar buat kita semua. Ya, kita yang cuma wong alit ini juga berkewajiban
membangun negeri ini dari keterpurukan, setidaknya semampu yang kita dapat.
Sebab bila kita sebagai
rakyat tidak dapat membangkitkan semangat untuk kemajuan, maka negeri ini akan
selalu berjalan di tempat, di tengah hiruk-pikuknya globalisasi yang hadir di
segala bidang.
Kita sudah tertinggal
jauh, ini suatu kenyataan. Meski pahit, kita harus menerimanya, menjadikannya
sebagai cambuk untuk bangkit dan kembali melangkah tegap untuk menyusul.
Kita pasti bisa, karena
kita punya keyakinan. Kita yakin Tuhan akan memberikan keberkahan pada kita,
karena kita tak pernah melupakan-Nya.
Ini yang terpenting dan
yang membedakan kita dengan bangsa lain.
Sudahlah. Intinya saya
hanya ingin mengatakan biarlah kita merayakan 17 Agustus tahun ini tanpa lomba,
tanpa panggung hiburan, dan tanpa semarak umbul-umbul!
Marilah kita menyambutnya
dengan introspeksi diri dan doa untuk kebangkitan bangsa ini, agar dapat
benar-benar merasakan kemerdekaannya.
Memiliki kemandirian dan
kepribadian, lepas dari pengaruh negara lain. Karena kitalah pemilik negeri ini,
jadi kita pula yang mesti membangun, mengolah, menjaga, dan menikmati segala
sesuatu yang berasal dari tanahnya. Bukan pihak asing. Saya yakin kita pasti
bisa. Ya, saya rasa cukup sudah yang saya ingin utarakan. Terima kasih atas
perhatian saudara-saudara.”
Warga yang masih bingung
maksud dari kata-kata Pak RT bubar seketika setelah sebelumnya menyantap pisang
goreng dan teh manis yang disediakan.
***
Sehari sebelum tujuh
belas Agustus. Suasana tetap terlihat lengang. Tak ada hiruk-pikuk untuk
penyambutan, meski di muka tiap-tiap rumah sudah bermunculan tiang-tiang
berbendera. Hari kemerdekaan jadi terlihat biasa, tak berbeda dengan hari-hari
lain.
Di teras rumahnya,
sembari membaca koran ditemani dengan kopi panas dan sepiring pisang goreng,
Pak RT tampak berseri. Ia puas kata hatinya sudah dapat dijalankan di
wilayahnya. Bangsa ini memang perlu perubahan, agar bisa bangkit menuju
kemajuan, pikirnya.
Sambil menyeruput kopi,
matanya memperhatikan Bagus, cucunya dan ketiga temannya yang asyik bermain di
halaman. Mereka melompat-lompat dengan memakai karung goni dari satu sisi ke
sisi yang lain.
Semuanya saling beradu
cepat. Kadang terdengar tawa yang riuh begitu ada salah satu anak yang
terjatuh. Pak RT juga ikut-ikutan tertawa. Tapi itu tak lama. Kemudian ia malah
tercenung. Gusar. Hatinya berontak.
Bagaimana mungkin ia
memberhangus kebahagiaan anak-anak pada saat tujuh belasan nanti, dengan sama
sekali tidak mengadakan acara lomba bagi mereka. Sedang itulah sepertinya yang
mereka tunggu di setiap bulan Agustus.
Apa dia begitu tega jika nanti melihat cucunya hanya menjadi
penonton belaka pada acara lomba
anak-anak di RT sebelah?
Ia tersentak. Sontak
batinnya menggeliat. Mereka adalah tunas-tunas negeri ini, apa jadinya bila
kegembiraan mereka dikekang. Bukankah itu malah membelenggu kreativitas mereka?
Maka, ia bangkit dan
bergegas memanggil sekretaris RT, memberi perintah untuk mengundang warga rapat
malam nanti. Ia ingin meralat kata-kata dan niatnya semula.
*****
Comments
Post a Comment