Ulang Tahun [part 2 - tamat]

Cerpen: Sokat Rachman

Kita mengartikan perjuangan mereka dengan bentuk kesenangan, bukan pada penerusan cita-citanya: menjadikan bangsa ini benar-benar merdeka dan mampu berdiri tegak di hadapan bangsa lain.
Saudara-saudara bisa lihat betapa sulitnya bangsa kita untuk bisa mencapai kemandirian. Kita ambil contoh saja soal pangan.

foto-lomba-17 Agustus

Semua tahu negeri kita ini bertanah subur, tapi kenapa masih mesti impor beras dari negara lain, negara yang baru merdeka dan belajar dari kita tentang pertanian pula. Lucu, kan?
Petani kita malah keteteran menghadapi pasokan bahan pangan dari luar yang beredar di pasaran itu. Harga komoditi yang mereka hasilkan jauh dari harapan untuk dapat hidup lebih.
Sedang teknologi yang dipakai tidak pernah berkembang, susah untuk bersaing jadinya
Bisa dibayangkan bagaimana nantinya. Kita ini sudah kadung terlena pada kenangan pernah menjadi hebat di mata dunia. Tetapi, itu masa lalu. Sekarang kita telah jauh tertinggal, tengoklah negara sebelah, mereka sudah mencap diri sebagai negara yang penuh pesona.
Padahal kita punya segalanya yang lebih dari itu di sini, tapi kita tak pernah mau mengembangkan menjadi sesuatu berharga. Kita lebih senang menawarkan hal itu pada pihak asing untuk mengolahnya yang hasilnya tentu lebih menguntungkan mereka ketimbang kita.
Kita lebih suka dipekerjakan mereka daripada menggaji mereka.
Alhasil, setelah sekian lama kemerdekaan dikumandangkan tak juga ada perubahan dalam kehidupan  kita berbangsa.
Disadari atau tidak, kita masih terbelenggu dalam nuansa penjajahan. Ini yang harus kita sikapi dengan cermat, jika tak ingin keadaannya terus berlangsung. Kita harus bangkit.
Bangun dari buaian mimpi yang membekukan otak di tempurung kepala kita. Karena kita memang adalah bangsa yang besar. Dan itu harus dibuktikan kembali.
Itu adalah suatu tugas besar buat kita semua. Ya, kita yang cuma wong alit ini juga berkewajiban membangun negeri ini dari keterpurukan, setidaknya semampu yang kita dapat.
Sebab bila kita sebagai rakyat tidak dapat membangkitkan semangat untuk kemajuan, maka negeri ini akan selalu berjalan di tempat, di tengah hiruk-pikuknya globalisasi yang hadir di segala bidang.
Kita sudah tertinggal jauh, ini suatu kenyataan. Meski pahit, kita harus menerimanya, menjadikannya sebagai cambuk untuk bangkit dan kembali melangkah tegap untuk menyusul.
Kita pasti bisa, karena kita punya keyakinan. Kita yakin Tuhan akan memberikan keberkahan pada kita, karena kita tak pernah melupakan-Nya.
Ini yang terpenting dan yang membedakan kita dengan bangsa lain.
Sudahlah. Intinya saya hanya ingin mengatakan biarlah kita merayakan 17 Agustus tahun ini tanpa lomba, tanpa panggung hiburan, dan tanpa semarak umbul-umbul!
Marilah kita menyambutnya dengan introspeksi diri dan doa untuk kebangkitan bangsa ini, agar dapat benar-benar merasakan kemerdekaannya.
Memiliki kemandirian dan kepribadian, lepas dari pengaruh negara lain. Karena kitalah pemilik negeri ini, jadi kita pula yang mesti membangun, mengolah, menjaga, dan menikmati segala sesuatu yang berasal dari tanahnya. Bukan pihak asing. Saya yakin kita pasti bisa. Ya, saya rasa cukup sudah yang saya ingin utarakan. Terima kasih atas perhatian saudara-saudara.”
Warga yang masih bingung maksud dari kata-kata Pak RT bubar seketika setelah sebelumnya menyantap pisang goreng dan teh manis yang disediakan.
***
Sehari sebelum tujuh belas Agustus. Suasana tetap terlihat lengang. Tak ada hiruk-pikuk untuk penyambutan, meski di muka tiap-tiap rumah sudah bermunculan tiang-tiang berbendera. Hari kemerdekaan jadi terlihat biasa, tak berbeda dengan hari-hari lain.
Di teras rumahnya, sembari membaca koran ditemani dengan kopi panas dan sepiring pisang goreng, Pak RT tampak berseri. Ia puas kata hatinya sudah dapat dijalankan di wilayahnya. Bangsa ini memang perlu perubahan, agar bisa bangkit menuju kemajuan, pikirnya.
Sambil menyeruput kopi, matanya memperhatikan Bagus, cucunya dan ketiga temannya yang asyik bermain di halaman. Mereka melompat-lompat dengan memakai karung goni dari satu sisi ke sisi yang lain.
Semuanya saling beradu cepat. Kadang terdengar tawa yang riuh begitu ada salah satu anak yang terjatuh. Pak RT juga ikut-ikutan tertawa. Tapi itu tak lama. Kemudian ia malah tercenung. Gusar. Hatinya berontak.
Bagaimana mungkin ia memberhangus kebahagiaan anak-anak pada saat tujuh belasan nanti, dengan sama sekali tidak mengadakan acara lomba bagi mereka. Sedang itulah sepertinya yang mereka tunggu di setiap bulan Agustus.
Apa dia begitu tega jika nanti melihat cucunya hanya menjadi penonton belaka pada acara lomba  anak-anak di RT sebelah?
Ia tersentak. Sontak batinnya menggeliat. Mereka adalah tunas-tunas negeri ini, apa jadinya bila kegembiraan mereka dikekang. Bukankah itu malah membelenggu kreativitas mereka?
Maka, ia bangkit dan bergegas memanggil sekretaris RT, memberi perintah untuk mengundang warga rapat malam nanti. Ia ingin meralat kata-kata dan niatnya semula.


*****

Comments

Popular posts from this blog

THE COFFEE BEAN SHOW (Trans TV - 2008)

Cara Mudah Membangun Struktur Skenario Bernilai Jual

CAMERA CAFE (Metro TV - 2008)