Ulang Tahun [part 1]

Cerpen : Sokat Rachman

foto-lomba-17 Agustus

“Assalamu’alaikum….” ucap Pak RT memulai pembicaraan dengan beberapa orang warganya yang berkumpul di bawah pohon mangga di halaman rumahnya.
“Sebelumnya saya mohon maaf, jika pada malam ini saya mengumpulkan saudara-saudara dengan agak mendadak. Mungkin ada sebagian yang bertanya-tanya mengenai hal ini.
Karena tidak seperti biasanya saya memanggil saudara-saudara tanpa surat edaran. Tetapi, hal itu tak perlu dipersoalkan. Saya di sini cuma ingin membicarakan sesuatu pada saudara semua. Tak ada salahnya toh, bila kita saling bertukar pikir. Lagipula kita ini adalah satu keluarga. Keluarga besar RT ini. Ya tidak?
Tapi maaf, sekali lagi, bila yang saya ingin bicarakan ini merupakan sesuatu yang tidak begitu penting. Atau boleh jadi tidak berkenan di hati saudara-saudara. Namun, kalau tidak dibicarakan saya takut nantinya malah menimbulkan salah pengertian, bisa menjadi kerikil dalam hubungan antarwarga di wilayah ini.
Saya tak mau ada ketidakharmonisan dalam kehidupan kita bertetangga. Itulah mengapa saya selalu ingin ada keterbukaan di antara kita. Jadi, tak perlu timbul gerendengan di belakang hari.
Meski lingkup kita memang kecil, namun dengan adanya kerukunan yang terbina baik di sini, bukan mustahil dapat membentuk pola perilaku kita berbangsa yang jauh dari saling sikut menyikut.
Kita patut menjaga sikap kerukunan yang sudah ada ini agar dapat mengembalikan mental bangsa pada kebudayaan yang telah lama mengakar yaitu keramahan dan saling menghargai sesama.
Jadi, walau hal itu kini hampir tak bersisa, tak ada salahnya kita coba membangkitkan kembali. Dan 17 Agustus adalah saat yang tepat untuk itu.
Saya pikir, arah dari pembicaraan ini mungkin sudah ada yang mengerti. Beberapa hari ini, saya telah mendengar adanya pertanyaan-pertanyaan di kalangan warga seputar kegiatan tujuh belasan di wilayah kita.
Memang benar, seminggu lagi sudah akan tanggal 17 Agustus. Berarti dalam tujuh hari ke depan itu kita akan memperingati hari ulang tahun kemerdekaan negara kita. Seperti yang tiap-tiap tahun sebelumnya kita rayakan.
Saya tahu sudah ada bisik-bisik mengenai kenapa kok di wilayah kita ini masih adem ayem saja. Padahal, di RT lain, segala persiapan sudah meriah.
Di RT sebelah saja sudah terpasang bendera, umbul-umbul, rentangan bendera-bendera plastik di sepanjang jalan, pengecatan gapura, dan pembersihan lingkungan, juga pembentukan panitia lomba, bahkan sudah ada yang mempersiapkan panggung hiburan segala. Tetapi di sini?
Saya mengerti melihat rasa penasaran pada diri saudara-saudara atas ketidakadaan gegap gempitanya wilayah kita dalam menyambut ulang tahun kemerdekaan.
Tapi itu bukan tanpa alasan. Sebenarnya, saya sendiri tidak begitu antusias menyambut tujuh belasan tahun ini. Boleh dibilang untuk tahun ini saya merencanakan untuk tidak mengadakan kegiatan apapun.
Apa pasal? Jelas ini bukan berarti saya sudah tidak cinta lagi terhadap tanah air. Tadi pun sudah saya utarakan bahwa 17 Agustus adalah momentum yang baik untuk kebangkitan atas sikap bangsa kita.
Sejak kecil, saya sendiri sudah diwanti-wanti oleh ayah saya, yang beliau dapat dari kakek saya, yang juga berasal dari buyut saya yang ikut sumbang tenaga dalam perang kemerdekaan, yaitu untuk senantiasa menjaga bumi pertiwi ini tetap utuh dalam kesatuan.
Saya sendiri bingung. Lha kok saya yang bukan apa-apa ini diamanati seperti itu. Namun, toh pesan itu tetap saya jalankan. Saya selalu mencintai negeri ini lahir-batin.
Tak ada sedikit pun niat di hati saya untuk meninggalkannya, walau arah langkahnya sudah terasa limbung. Sebab saya pikir, bila bukan kita yang mengembalikan alur tujuan negeri kita sendiri, siapa lagi?
Apa kita akan selalu dituntun oleh pihak asing? Bukankah itu sama saja dengan kita masih dijajah? Lalu, apa artinya kemerdekaan yang sudah penuh pengorbanan kita raih selama ini?
Sekali lagi, perlu saya tegaskan, bukan lantaran tidak cinta sehingga saya menjadi kurang semangat dalam menyambut ulang tahun  kemerdekaan negara ini.
Saya hanya ingin merasakan perayaan proklamasi ini tanpa semaraknya umbul-umbul, riuhnya bendera-bendera plastik yang saling-silang di sepanjang jalan, gegap gempitanya anak-anak dengan perlombaan, dan panggung hiburan.
Biarlah tujuh belasan ini kita lewati dengan sederhana. Sehingga kita bisa introspeksi diri.
Saya ingin kita tidak selalu berpikir bahwa tujuh belasan itu identik dengan lomba dan panggung hiburan semata, melainkan seharusnya pada peningkatan mutu dari bangsa ini.
Sebab saya melihat, kita telah melupakan semangat dari hari kemerdekaan itu sendiri. Coba saja bila dulu, Soekarno tidak “diculik” ke Rengas Dengklok dan didesak oleh para pemuda untuk segera memproklamasikan negeri ini, apa mungkin ada tujuh belasan?

Itulah yang saya khawatirkan. 
Bersambung ke part 2....

Comments

Popular posts from this blog

THE COFFEE BEAN SHOW (Trans TV - 2008)

Cara Mudah Membangun Struktur Skenario Bernilai Jual

CAMERA CAFE (Metro TV - 2008)