NOMER IMPIAN

Cerpen : Sokat



Novel, Fiksi
     
     
     Sepulang dari pameran buku, Laras langsung menuju kamarnya. Kayaknya dia capek banget. Seharian tadi, setelah pulang dari sekolah tentunya, dia memang langsung menuju ke tempat pameran. Maklum kalau hari pertama pembukaan pameran, biasanya, masih bisa menemukan buku-buku bagus meski dalam kondisi bekas. Malah kadang-kadang tanpa diduga kita dapat memperoleh buku yang sudah lama dicari dan sudah tak dicetak lagi. Makanya tidak heran bila Laras mau bela-belain  memecahkan celengan ayam miliknya, buat memburu buku-buku itu.
     Kebetulan hasilnya memang tidak mengecewakan. Dekat pintu masuk ruang pameran, dia melihat ada beberapa meja yang menggelar buku-buku bekas. Setelah melihat-lihat, sembari senyam-senyum sama salah satu penjaga stand itu yang kiyut kayak Ariel Peterpan, dia mengambil novel Olenka milik penulis Budi Darma yang oke punya. Melihat Laras tertarik pada buku tersebut dan langsung mengeluarkan dompet, si “Ariel Peterpan” jelas kesenangan karena dagangannya laku. Sambil mengibas-kibaskan lembaran uang dari Laras ke seluruh buku dagangannya, dia berteriak-teriak, “Laris manis tanjung kimpul, dagangan habis duit kumpul!”

     Laras ikut-ikutan menyumbangkan senyumannya, apalagi setelah dia mendengar ucapan terima kasih dari si “Ariel Peterpan” yang di telinganya terdengar semerdu suara Ariel Peterpan betulan. Maka sambil jalan menuju ruang dalam pameran, dia sempet-sempetin melirik  cowok itu yang rupanya juga masih memandanginya. Dia jadi tambah ge-er. Timbul penyesalan dalam hatinya, kenapa tadi tidak sekalian kenalan saja, ya? Tapi untuk balik lagi dia tak berani plus malu. Dia cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya mengikuti langkah kakinya. masuk ke ruangan yang lumayan sejuk.
     Di ruang dalam pameran itu Laras mutar-mutar menengok dari satu stand ke stand lain sampai kakinya pegel-pegel. Usai memperoleh beberapa buku lagi ditambah sejumlah majalah, dia langsung bergegas pulang. Perutnya yang sudah berteriak-teriak minta diisi menjadi salah satu penyebab untuk tak berlama-lama di tempat itu. Sempat pula ia menoleh ke tempat si “Ariel Peterpan” tadi berjualan, tapi rupanya cowok kiyut itu sudah digantikan oleh seorang cewek. Dan bayangan si “Ariel Peterpan” pun terbang bersama angin siang.
     Laras segera mengganti seragam putih abu-abunya dengan kaos dan rok warna pink. Setelah membersihkan wajahnya, langsung saja dia menuju meja makan. Dari wangi yang keluar dari tudung saji, dia sudah dapat menduga kalau Mbak Sum pasti masak sayur lodeh kesukaannya. Tanpa basa-basi, setelah berdoa, dia langsung melahap nasi, ayam goreng, juga sayur lodeh. Mantap. Mbak Sum yang kebetulan lewat dan melihat anak majikannya makan dengan penuh semangat jadi gembira.
     “Gimana non, masakannya?” tanyanya.
     Laras mengacungkan dua jempolnya seraya berkata, “Te-o-pe be-ge-te.”
     “Apaan artinya tuh, Non?” Mbak Sum kebingungan.
     “Top banget! Gak ketulungan enaknya!”
     Mbak Sum cuma bisa misuh-misuh ge-er. “Ah, non bisa saja,” ungkapnya sambil menuju dapur.
     Laras dengan cepat menghabiskan makannya. Ia teringat buku-buku yang baru dibelinya. Maka setelah lebih dulu Ashar, dia mulai membongkar bungkus plastik yang berisi buku-buku yang baru dibelinya. Yang pertama diambil adalah novel Olenka. Dibawanya buku itu ke tempat tidur. Setelah menyusun bantal buat senderan, dia mulai membuka halaman buku itu. Membacanya.lembar per lembar, bagian demi bagian. Begitu asyiknya Laras mengikuti alur kisah kasih Fanton Drummond dengan Olenka yang berlatar belakang kota Bloomington, AS, sampai tak sadar azan magrib sudah membahana dari musala dekat rumahnya. Mau tak mau, ia musti menutup dulu buku yang dibacanya. Buru-buru ia mandi sebelum maminya mencak-mencak.
Selepas Isya, Laras kembali mengambil Olenkanya, naik lagi dia ke tempat tidur dan mengambil posisi yang enak buat baca. Tak sengaja, ketika dia membalikkan halaman terakhir yang berisi catatan kaki, dia melihat ada sebaris angka yang tertera di situ.  Ada tujuh digit. Sepertinya nomer telepon. Mata Laras memperhatikan angka-angka tersebut. Tapi cuma sesaat saja karena dia sudah langsung membuka kembali halaman buku itu yang terakhir dia baca tadi. Ia menyambung bacaannya yang tertunda. Dalam usahanya menyelami lagi kehidupan setiap tokoh dalam Olenka, baris angka-angka yang sudah dilihatnya di lembar akhir buku barusan, telah memecah konsentrasinya. Tujuh angka itu berkeliaran di pikirannya.  Tujuh digit angka yang diyakininya sebagai nomer telepon.
     Dibaliknya lagi buku itu. Dibukanya lembaran terakhir. Diperhatikannya angka yang tertulis. Jelas sebaris angka tersebut adalah nomer telepon. Mata Laras menerawang ke langit-langit kamar. Pikirannya melayang bebas ke pelosok-pelosok ruangan. Kira-kira nomer telepon siapa, ya? Mendadak pertanyaan itu menyeruak dari pikirannya. Apakah itu nomer telepon si “Ariel Peterpan” yang menjual buku ini? Laras tersenyum lagi begitu teringat cowok yang menjaga stand buku yang dibelinya tadi siang. Tapi apa iya nomer teleponnya dia? Laras malah jadi penasaran. Perlahan-lahan pikiran Laras mulai membangun sosok cowok itu di dalam tempurung kepalanya. Cowok yang kiyut, berbadan atletis dengan potongan rambut belah pinggir asal gayanya Ariel Peterpan. Laras jadi benar-benar menyesal sampai tidak mengetahui namanya.
     Tapi apa boleh buat, semuanya kan sudah terlambat. Cowok itupun entah berada dimana sekarang. Paling untung kalau memang dia masih mau melihatnya ya, mesti datang lagi ke pameran buku. Siapa tahu tuh cowok masih menjaga stand buku bekasnya di sana.
     Laras kembali menatap sederetan angka tersebut. Menatap lagi langit-langit kamar. Kemudian, matanya dipejamkan. Seulas senyum tersungging di sudut bibirnya. 

*
     “Halo…?”
     “Halo, ini siapa, ya?” terdengar jawaban dari seberang, suara seorang cowok.
     “Aku Laras, maaf kalau aku mengganggu. Aku mendapat nomer ini dari sebuah buku yang kubeli tadi siang di pameran.”
     “Oooo, aku tahu,” ujar si cowok. “ pasti kamu cewek manis yang tadi siang mampir ke stand yang kujaga, dan membeli novel Olenka. Betul, kan?”
     “Lho, kok kamu tahu sih?”
     “Tentu saja aku tahu, karena akulah yang memang menuliskan nomer telepon ini di buku itu. Maksudnya sih biar yang membeli Olenka nanti bakal menelepon. Eh, tak tahunya harapanku terkabul, kamu telepon juga.”
     “Jadi, kamu ini yang tadi di pameran itu?” tanya Laras hati-hati dengan hati yang deg-degan.
     “Iya, namaku Amril.”
     Amril? Ih, kok mirip banget sih namanya sama Aril? Apa karena wajahnya mirip? kata Laras yang cuma diungkapkan dalam hati.
     “Nama kamu siapa?” tanya Amril.
     “Laras.”
     “Bagaimana novelnya, Ras? Sudah dibaca belum?”
     “Sudah, ini juga lagi dibaca. Unik banget. Isinya begitu didominasi sama kelebatan-kelebatan pikiran para tokohnya yang begitu bebas diungkapkan.”
     “Nah, itulah kelebihannya si penulis. Sebenarnya saya juga sayang lho menjual buku itu, karena kini sudah tak diterbitkan lagi.”
     “Tetapi, kenapa kamu jual juga kalau memang kamu masih membutuhkannya?”
Tak terdengar ada jawaban dari seberang.
     “Halo…?”
     “I-iya, aku masih di sini, apa tadi katamu?” ucap Amril lagi.
     “Aku sekedar mau tahu, kamu kok bisa juga menjual buku kesayanganmu?” kata Laras.
     “Karena hanya buku-buku itulah yang aku miliki dan dapat kusumbangkan.”
     “Sumbang? Memangnya kamu mau menyumbang apa dengan semua bukumu?”
     “Sebenarnya, semua hasil dari penjualan buku yang kulakukan bersama teman-teman di pameran itu bakal disumbangkan untuk saudara-saudara kita yang terkena bencana tsunami di Aceh dan Sumut.”
     Laras bengong. “Oh, begitu,” katanya.
    “Dan aku ucapkan juga terima kasih karena kamu sudah mau membeli buku kami. Setidaknya dengan begitu kamu sudah ikut menyumbang. Jangan lupa bukunya dijaga.”
    “Jangan khawatir, buku itu akan menjadi salah satu penghuni lemari buku koleksiku. Sebenarnya, aku nggak menyangka lho, kalau tujuan kamu menjual buku itu untuk disumbangkan.”
     “Lalu, kalau sekarang tahu, apa kamu jadi mau membeli lagi?”
     “Boleh, kalau masih ada buku yang bagus.”
     “Ya, sudah kamu datang lagi saja besok, kita masih punya koleksi buku-buku yang menarik kok.”
     “Apa kamu juga bakal ada di sana?” tanya Laras hati-hati.
     “Tentu saja. Kenapa? Ada hal lain yang mau dibicarakan?” goda Amril.
     Ada. Aku ingin berkenalan denganmu, batin Laras semangat.
     “Baiklah, aku tunggu kau di sana besok.”
     Kemudian telepon pun ditutup. Laras masih tersenyum.

*
     Pluk! Seekor cicak yang sedang merayap di langit-langit kamar terjatuh. Laras kaget. Refleks, tangannya menyentakkan tubuh si cicak hingga jatuh ke lantai. Senyumannya hilang seketika. Dipandanginya lagi lembar paling belakang dari novel Olenka yang tertera deretan angka seperti nomer telepon.
     Hatinya bimbang. Matanya melirik ke telepon yang diam di meja belajarnya. Perlahan, dia bangkit dari tempat tidur. Menghampiri meja belajar tersebut. Meski ragu-ragu, tangannya mencoba bergerak meraih gagang telepon. Mengangkatnya dan mendekatkannya ke telinga. Tangan yang satunya sudah sibuk memegang lembar Olenka yang ada deretan angkanya. Lalu, dia memencet dial telepon sesuai angka-angka itu.
     Tuuut….
     Terdengar nada tunggu.
     Tuuut….
     Laras berharap nomer itu adalah benar nomer teleponnya si “Ariel Peterpan” seperti yang tadi dibayangkannya.
     Tuuut….
     “Halo…?” terdengar suara laki-laki dari seberang.
     Laras menjadi dag dig dug. Suara itu seperti dikenalnya.
     “Halo…?” kembali suara itu terdengar.
     “Ha-halo….” Suara Laras gemetar.
     “Ada yang bisa dibantu?”
     Laras bingung mau ngomong apa. Namun, dia tetap menjawab, “Bisa bicara dengan Amril?”
     “Amril?”
     “Iya, Amril.”
     “Oh, maaf, di sini tidak ada yang namanya Amril.”
     Deg! Laras tambah bingung.
     “Tapi benar nomer ini adalah….” Laras menyebutkan nomer yang tadi dipencetnya sesuai dengan yang ada di buku novel Olenka.
     “Betul itu nomer telepon kita, tetapi tak ada yang namanya Amril. Di sini adalah posko relawan MER-C.”
     “Maaf kalau begitu. Mungkin salah sambung.” Laras langsung menutup teleponnya.
     Dia tersenyum sendiri. Tangannya langsung menutup juga lembar buku novel Olenka yang ada deretan angkanya itu. Obrolan lewat telepon dengan si “Ariel Peterpan” yang tadi sudah dibayangkannya lenyap bersama angin malam yang masuk melalui ventilasi jendela kamar. Memang mesti datang lagi ke pameran buku nih kayaknya.

***
Nusa Indah, 11 Januari 2005
(Kawanku No. 43/XXXIV, 18-24 April 2005)

Comments

Popular posts from this blog

THE COFFEE BEAN SHOW (Trans TV - 2008)

Cara Mudah Membangun Struktur Skenario Bernilai Jual

CAMERA CAFE (Metro TV - 2008)