Mawar Berduri [part2]
“Dia juga suka kamu?”
“Kayaknya.”
“Kok kayaknya?”
“Aku belom tanya dia.”
“Hahahaha….” Romli terbahak. “Itu namanya bagai punguk
merindukan bulan!”
Bobby diam. Romli melihat Bobby yang terdiam jadi ikut diam
lagi. Tawanya hilang. Dia menatap Bobby.
“Kamu tau kan artinya bagai punguk merindukan bulan?” tanya
Romli ragu. “Itu peribahasa Indonesia.”
“Tau!”
Romli tertawa lagi.
Bobby makin kesal melihat Romli. Teman
semasa SMA-nya yang kini dagang kembang di bawah stasiun kereta Cikini itu
tidak sedikit pun berempati padanya. Padahal, dia cerita bukan untuk dicemooh.
Dia hanya minta pendapat Romli. Kalau tahu bakal cuma diledek, Bobby lebih baik
memilih diam.
Tetapi, dia tak bisa menutup mulutnya dari keinginan untuk
bercerita. Mengungkapkan buncah di hatinya. Dia tak ingin menyimpan sendiri
getar yang selalu muncul di hatinya jika memandang perempuan pujaannya. Perempuan
yang selalu tersenyum manis di balik etalase toko roti di samping Taman Ismail
Marzuki. Mawar Puspaindah. Dia selalu indah dalam pandangan Bobby.
Walau belum pernah saling menyapa. Tapi, Bobby yakin kisah
hatinya sudah sampai pada Mawar. Dia yakin itu. Sebab tiap kali dia nongkrong
di depan toko roti, Mawar selalu senyum padanya kalau kebetulan sedang melongok
ke luar toko. Dia hanya tinggal mencari waktu untuk mengungkapkan gelora di
dadanya pada wanita yang memesona itu.
“Kamu nggak seneng aku punya pacar?” tanya Bobby.
Romli terdiam menatap Bobby.
“Aku seneng,” sahut Romli.
“Nggak bohong?”
“Buat apa bohong? Kalo kamu
senang, aku juga ikut senang!” tandas Romli.
Bobby manggut-manggut
tersenyum.
“Kita ini udah lama temanan.
Iya, kan?” lanjut Romli.
“Iya.”
Romli diam berpikir. Lalu, dia
menoleh lagi pada Bobby.
“Ngomong-ngomong kita udah
berapa lama sih temenan?” tanya Romli bingung.
Bobby menghela napas.
Senyumnya hilang. Meski begitu, Romli bukan teman yang selalu menjengkelkan
buat Bobby. Romli pun memberi saran pada Bobby untuk segera menembak Mawar.
Biar tahu perasaan Mawar Puspaindah padanya.
Saran dari Romli dijalankan
keesokan harinya. Menjelang sore, Bobby sudah nongrong di depan toko roti.
Rambutnya disisir licin ke samping. Kemeja kotak-kotak warna kuningnya
dimasukkan ke dalam celana kain warna coklat yang juga licin baru disetrika.
Dia tersenyum pada Mulyono, tukang parkir, yang sedang meniup pluit mengarahkan
mobil yang selesai belanja di toko roti.
Bobby duduk di bangku yang
biasa diduduki Mulyono. Tangannya membersihkan debu yang berselimut di
kiri-kanan sneaker-nya yang berwarna
merah. Mulyono datang menghampiri setelah mengatur mobil.
“Rapi banget! Mau kemana?”
tanya Mulyono takjub melihat Bobby.
“Biasa, Bang, anak muda,”
jawab Bobby.
Mulyono bingung.
“Memangnya berapa umur lu?”
“Dua puluh!”
“Masya Allah, gua kira tiga
puluh!”
Bobby kaget.
“Kagak, Bang,” cetus Bobby,
“saya masih muda!”
“Maaf, muka memang bisa
menipu!” celoteh Mulyono sambil terkekeh.
Bobby menghela napas. Dia
melirik Mulyono yang dianggapnya nggak tahu gaya anak muda. Setelah itu Bobby
jadi malas untuk bicara lagi dengan Mulyono. Dia lebih memilih untuk memandang
ke dalam toko roti di balik jendela kaca. Di situ ada Mawar yang berdiri di
belakang meja kasir. Mawar yang selalu tersenyum saat bercakap-cakap dengan
temannya.
Selama dua jam Bobby menunggu
sambil mengantuk dan berdiri, sebab bangku yang didudukinya diambil alih oleh
pemiliknya, Mulyono. Sampai saat yang dinantinya tiba. Mawar pun pulang. Dia
keluar dari toko roti sudah berganti pakaian. Baju seragamnya sudah diganti
dengan kaos ketat hitam dan celana jins abu-abu. Bobby jadi melotot melihat
Mawar dan menelan ludah.
“Hai,” sapa Bobby waktu Mawar sudah
berdiri di trotoar jalan depan tokonya menunggu bus.
“Hai.”
“Pulang kemana?”
“Ke rumah.”
Bobby tertawa kecil.
“Rumahnya dimana?”
“Cawang.”
Bobby manggut-manggut. Seperti
tersadar dia menyodorkan tangan untuk berkenalan.
“Nama saya Bobby,” katanya.
Sebelum sempat menjawab, sebuah
bus Kopaja berhenti di depan Mawar. Mawar menoleh pada Bobby.
“Maaf, aku pulang dulu, ya!”
ucapnya sembari naik ke bus Kopaja.
Bobby melongo dengan tangan
masih menggantung di udara. Bus itu menderu dan bergerak menjauh sambil
menyemprotkan asap hitam knalpot yang mengenai wajah Bobby. Bobby berkali-kali
mengibaskan tangannya untuk menghalau asap hitam. Bobby mendengus kesal. Niatnya
berkenalan belum kesampaian.
Bersambung.... ke part 3
Comments
Post a Comment