Ulang Tahun [part 1]
Cerpen : Sokat Rachman
“Assalamu’alaikum….” ucap Pak RT memulai
pembicaraan dengan beberapa orang warganya yang berkumpul di bawah pohon mangga
di halaman rumahnya.
“Sebelumnya saya mohon
maaf, jika pada malam ini saya mengumpulkan saudara-saudara dengan agak
mendadak. Mungkin ada sebagian yang bertanya-tanya mengenai hal ini.
Karena tidak seperti
biasanya saya memanggil saudara-saudara tanpa surat edaran. Tetapi, hal itu tak
perlu dipersoalkan. Saya di sini cuma ingin membicarakan sesuatu pada saudara
semua. Tak ada salahnya toh, bila kita saling bertukar pikir. Lagipula kita ini
adalah satu keluarga. Keluarga besar RT ini. Ya tidak?
Tapi maaf, sekali lagi,
bila yang saya ingin bicarakan ini merupakan sesuatu yang tidak begitu penting.
Atau boleh jadi tidak berkenan di hati saudara-saudara. Namun, kalau tidak
dibicarakan saya takut nantinya malah menimbulkan salah pengertian, bisa menjadi
kerikil dalam hubungan antarwarga di wilayah ini.
Saya tak mau ada
ketidakharmonisan dalam kehidupan kita bertetangga. Itulah mengapa saya selalu
ingin ada keterbukaan di antara kita. Jadi, tak perlu timbul gerendengan
di belakang hari.
Meski lingkup kita memang
kecil, namun dengan adanya kerukunan yang terbina baik di sini, bukan mustahil
dapat membentuk pola perilaku kita berbangsa yang jauh dari saling sikut
menyikut.
Kita patut menjaga sikap
kerukunan yang sudah ada ini agar dapat mengembalikan mental bangsa pada
kebudayaan yang telah lama mengakar yaitu keramahan dan saling menghargai
sesama.
Jadi, walau hal itu kini hampir tak bersisa, tak ada salahnya kita
coba membangkitkan kembali. Dan 17 Agustus adalah saat yang tepat untuk itu.
Saya pikir, arah dari
pembicaraan ini mungkin sudah ada yang mengerti. Beberapa hari ini, saya telah
mendengar adanya pertanyaan-pertanyaan di kalangan warga seputar kegiatan tujuh
belasan di wilayah kita.
Memang benar, seminggu
lagi sudah akan tanggal 17 Agustus. Berarti dalam tujuh hari ke depan itu kita
akan memperingati hari ulang tahun kemerdekaan negara kita. Seperti yang tiap-tiap
tahun sebelumnya kita rayakan.
Saya tahu sudah ada
bisik-bisik mengenai kenapa kok di wilayah kita ini masih adem ayem saja.
Padahal, di RT lain, segala persiapan sudah meriah.
Di RT sebelah saja sudah
terpasang bendera, umbul-umbul, rentangan bendera-bendera plastik di sepanjang
jalan, pengecatan gapura, dan pembersihan lingkungan, juga pembentukan panitia
lomba, bahkan sudah ada yang mempersiapkan panggung hiburan segala. Tetapi di
sini?
Saya mengerti melihat
rasa penasaran pada diri saudara-saudara atas ketidakadaan gegap gempitanya
wilayah kita dalam menyambut ulang tahun kemerdekaan.
Tapi itu bukan tanpa
alasan. Sebenarnya, saya sendiri tidak begitu antusias menyambut tujuh belasan
tahun ini. Boleh dibilang untuk tahun ini saya merencanakan untuk tidak
mengadakan kegiatan apapun.
Apa pasal? Jelas ini
bukan berarti saya sudah tidak cinta lagi terhadap tanah air. Tadi pun sudah
saya utarakan bahwa 17 Agustus adalah momentum yang baik untuk kebangkitan atas
sikap bangsa kita.
Sejak kecil, saya sendiri
sudah diwanti-wanti oleh ayah saya, yang beliau dapat dari kakek saya, yang
juga berasal dari buyut saya yang ikut sumbang tenaga dalam perang kemerdekaan,
yaitu untuk senantiasa menjaga bumi pertiwi ini tetap utuh dalam kesatuan.
Saya sendiri bingung. Lha
kok saya yang bukan apa-apa ini diamanati seperti itu. Namun, toh pesan itu
tetap saya jalankan. Saya selalu mencintai negeri ini lahir-batin.
Tak ada sedikit pun niat
di hati saya untuk meninggalkannya, walau arah langkahnya sudah terasa limbung.
Sebab saya pikir, bila bukan kita yang mengembalikan alur tujuan negeri kita
sendiri, siapa lagi?
Apa kita akan selalu
dituntun oleh pihak asing? Bukankah itu sama saja dengan kita masih dijajah?
Lalu, apa artinya kemerdekaan yang sudah penuh pengorbanan kita raih selama
ini?
Sekali lagi, perlu saya
tegaskan, bukan lantaran tidak cinta sehingga saya menjadi kurang semangat
dalam menyambut ulang tahun kemerdekaan
negara ini.
Saya hanya ingin
merasakan perayaan proklamasi ini tanpa semaraknya umbul-umbul, riuhnya
bendera-bendera plastik yang saling-silang di sepanjang jalan, gegap gempitanya
anak-anak dengan perlombaan, dan panggung hiburan.
Biarlah tujuh belasan ini
kita lewati dengan sederhana. Sehingga kita bisa introspeksi diri.
Saya ingin kita tidak
selalu berpikir bahwa tujuh belasan itu identik dengan lomba dan panggung
hiburan semata, melainkan seharusnya pada peningkatan mutu dari bangsa ini.
Sebab saya melihat, kita
telah melupakan semangat dari hari kemerdekaan itu sendiri. Coba saja bila
dulu, Soekarno tidak “diculik” ke Rengas Dengklok dan didesak oleh para pemuda
untuk segera memproklamasikan negeri ini, apa mungkin ada tujuh belasan?
Itulah yang saya
khawatirkan.
Bersambung ke part 2....
Comments
Post a Comment